Diperlukan Penguatan Ekosistem dan Ketersediaan Spektrum Teknologi 5G
Sebagaimana dilaporkan oleh Omdia, saat ini Korea Selatan didapuk sebagai pemimpin kemajuan 5G dunia. Peringkat ini dinilai berdasarkan pada tiga metrik utama, yaitu spektrum, cakupan, dan ekosistem.
Hal ini juga tidak terlepas dari hasil tes Speedcheck di 19 negara pada periode Februari-Maret 2021 yang menobatkan kecepatan 5G Korea Selatan sebagai internet terkencang di dunia. Rata-rata kecepatan unduhnya (download) mencapai 449,31 Mbps.
Laporan di atas menunjukkan bagaimana ekosistem 5G di Negeri Ginseng ini termasuk yang paling mapan. Pemerintah di sana memberikan dukungan penuh, baik dari sisi regulasi maupun talenta-talenta lokal untuk pengembangan inovasi.
Indonesia masih dalam perjalanan untuk mencapai itu. Riset Omdia menyebutkan, Indonesia masih tertinggal di peringkat ke-22. Sebetulnya, komersialisasi jaringan 5G di Indonesia yang banyak diproyeksikan hadir di akhir 2021 justru terealisasi lebih cepat.
Namun, komersialisasi teknologi seluler generasi kelima ini belum serentak secara nasional. Baik Telkomsel, Indosat Ooredoo (sekarang Indosat Ooredoo Hutchison), dan XL Axiata baru meluncurkan 5G secara bertahap di kota-kota besar. Smartfren juga masih dalam tahap uji coba.
Mereka tampak berhati-hati dalam mempersiapkan 5G ke depan. Apalagi jika berkaca pada pengalaman operator ketika mengomersialisasikan jaringan 3G dan 4G.
Masih banyak pekerjaan rumah untuk mengimplementasikan teknologi ini, terutama persoalan mengenai spektrum dan ekosistem layanan 5G di Indonesia. Menurut Ketua Forum 5G Indonesia Sigit Puspito Wigati Jarot, dikutip dari Kontan, layanan 5G yang sudah komersial sekarang sifatnya masih uji coba.
Ia mengatakan, untuk memberikan jaringan 5G yang optimal, setidaknya operator membutuhkan pita selebar 80MHz-100MHz secara berdampingan alias contiguous. Saat ini, operator seluler masih mengandalkan spektrum yang berbeda untuk mengimplementasi 5G, seperti di 2.300MHz dan 1.800MHz.
Menurut Konsultan PT LAPI ITB Ivan Samuels, dilansir Dailysocial, spektrum memang masih menjadi salah satu agenda utama yang kerap disoroti para pemangku kepentingan. Pasalnya, sejumlah spektrum emas ini masih jauh dari ketersediaan.
Apabila menggunakan skenario yang digagas ITB, implementasi 5G dapat maksimal apabila memakai spektrum kunci, seperti di 2.300MHz, 2.600MHz, dan 700MHz. Inipun dengan asumsi spektrum kunci ‘terbebas’ pada tahun 2021-2023.
Berdasarkan studi ITB bersama Qualcomm International dan Axiata Group di 2020, implementasi 5G dapat menambah Rp2.874 triliun bagi perekonomian negara secara kumulatif dari 2021 hingga 2030, atau setara 9,5 persen dari PDB. Kontribusinya diproyeksikan naik menjadi 9,8 persen dari PDB atau sebesar Rp3.549 triliun di 2035.
Bagaimana 5G yang sebenarnya?
Umumnya, 5G banyak mendapat sorotan berkat kemampuannya menghasilkan kecepatan koneksi ratusan kali lipat dibandingkan 4G. Bahkan, dapat setara dengan kecepatan WiFi. 5G juga memiliki kapasitas besar dan latensi rendah mendekati 0, yang memungkinkan pengiriman sinyal dengan cepat.
Sigit menilai ada potensi pengembangan yang luar biasa dengan 5G. Kita dapat mengeksplorasi banyak use case untuk variabel pasar yang lebih beragam. 5G mampu menghubungkan berbagai perangkat dan mengirimkan informasi dengan cepat. Dengan keunggulan ini, 5G digadang-gadang dapat mendorong efisiensi dan produktivitas di sektor-sektor kompleks, seperti industri retail dan manufaktur.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas, 5G memampukan masyarakat, perusahaan, pelaku usaha di berbagai sektor, hingga pemerintahan untuk memanfaatkan teknologi terkini, seperti Internet of Things (IoT), big data, cloud, smart city, AI, drone, atau mobil otonomos sekalipun. Ambil contoh, pemantauan sektor lalu lintas, pengembangan robot untuk pendidikan, atau pemantauan kondisi air bagi sektor perikanan.
Di sini, peran pemerintah dan pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk mendorong literasi masyarakat akan manfaat praktis 5G ketimbang hanya membesar-besarkan ketersediaan jaringannya saja.
Masyarakat perlu memahami bahwa 5G tidak melulu perkara download dan upload konten multimedia. Bentuk literasi ini dapat dimulai dari hal yang sederhana, seperti memperkenalkan aplikasi-aplikasi untuk mengakses informasi dan berkomunikasi sehingga masyarakat tidak gagap teknologi.
Selain literasi, pemerintah dan pihak terkait juga perlu menyiapkan kurikulum belajar yang relevan mengingat teknologi cepat sekali berkembang. Dengan begitu, Indonesia dapat mencetak talenta unggul yang mampu mewujudkan use case di atas dengan mengembangkan produk/perangkat/layanan sendiri.
Hal ini juga sempat ditekankan oleh Dirjen SDPPI Kementerian Kominfo Ismail. Menurutnya, kemampuan 5G tidak hanya sebatas pada peningkatan user experience pada human-to-human communications, tetapi juga human-to-machine communications, dan machine-to-machine communications.
Maka itu, ia menilai pengembang lokal berbasis komunitas perlu terus diberikan kesempatan dan pembinaan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan Indonesia perlu mendorong aplikasi lokal yang dapat menjadi killer apps 5G.
“Kementerian Kominfo sedang merancang lima aspek kebijakan komprehensif, yaitu regulasi, ketersediaan spektrum, model bisnis yang efisien dan fleksibel, infrastruktur yang memadai, serta kesiapan perangkat, ekosistem, dan talenta digital untuk mengakomodasi pengembangan 5G di masa depan,” katanya.
Informasi lebih lanjut tentang literasi digital dapat diakses melalui info.literasidigital.id.