Kesetaraan Gender dengan Berbagi Peran Domestik Rumah Tangga
Konsep rumah tangga di Indonesia pada umumnya masih menggunakan norma sosial tradisional, yang menempatkan laki-laki atau suami sebagai kepala keluarga, pemimpin, dan sekaligus pencari nafkah. Namun, konsep ini belakangan mulai diperdebatkan lantaran tidak mengusung kesetaraan antara suami dan istri.
Wawan Suwandi, Koordinator Nasional Aliansi Laki Laki Baru (ALB), dalam Instagram Live episode perdana Katadata Perempuan yang bertajuk "Setara dalam Rumah Tangga, Emang Bisa?", Senin (6/9/2021), mengungkap bahwa konsep rumah tangga di Indonesia yang menganggap laki-laki sebagai pemimpin ini dapat menimbulkan ketimpangan.
"Ketika pasangan menikah, dan demi menjaga marwah laki-laki sebagai pemimpin, istrinya yang tadinya bekerja dan perekonomiannya terjamin, disuruh berhenti bekerja dengan alasan sudah menjadi tanggung jawab suami untuk mencari nafkah," kata laki-laki yang akrab disapa Jundi ini.
Soal ketimpangan akibat ketidaksetaraan gender dalam rumah tangga ini ditanggapi juga oleh Andy Budiman, DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Terutama di masa pandemi Covid-19 yang semakin memperlihatkan bagaimana pasangan berinteraksi di dalam sebuah rumah tangga.
"Ada catatan bahwa perceraian meningkat selama pandemi. Pasangan suami istri mungkin baru sadar ketika pandemi dan mereka banyak tinggal bareng di rumah, ternyata mereka tidak cocok sama pasangannya," kata Andy.
Meski begitu, ada juga suami yang di momen pandemi ini menyadari bahwa ternyata di rumah ada begitu banyak hal yang harus dikerjakan, dan itu harus dibagi tanggung jawabnya.
"Saya di pandemi ini jadi lebih rajin dalam mengepel, menyapu, bersihin kamar mandi, dan beres-beres rumah. Tapi saya nggak bisa masak. Jadi, saya semacam melakukan kompromi dengan istri, kamu bisa dimana, saya kuat di mana. Itu cara berbagi peran di rumah tangga," ucap Andy menceritakan pengalamannya mengusung kesetaraan dalam rumah tangga.
Jundi setuju bahwa kesetaraan gender dalam rumah tangga sebenarnya tidak hanya dilihat dari sisi finansial dan karier istri dan suami. Tapi juga dalam hal melakukan pekerjaan rumah tangga.
Ia memberi tips, bahwa untuk membesarkan generasi yang sadar akan kesetaraan gender harus dimulai dari keluarga.
"Kalau kita punya anak laki-laki, mulailah dengan mengajak dia melakukan pekerjaan domestik yang selama ini dianggap sebagai urusan perempuan. Dan ini juga penting untuk memperkenalkan tentang skill dasar kepada anak. Pekerjaan domestik kan skill dasar, bayangkan kalau anak nanti harus sekolah dan tinggal jauh dari orangtua, nggak mungkin kan setiap hari makan harus beli, cuci baju harus pergi ke laundry, bisa-bisa uang saku dari orangtuanya habis atau kurang untuk kebutuhan dasar itu," ujar Jundi.
"Intinya, awal dari kesetaraan gender dalam rumah tangga adalah jangan ada perasaan atau pemikiran bahwa pekerjaan tertentu lebih rendah, atau pekerjaan itu bukan porsi saya," katanya.
Jundi yang memutuskan menjadi bapak rumah tangga ketika usia anaknya masih batita, menceritakan betapa pekerjaan domestik itu sesungguhnya sangat memicu stres.
"Karena istri saya lebih memilih berkarier, saya memutuskan menjadi bapak rumah tangga. Dengan anak yang belum berusia 3 tahun saat itu, saya mau ke kamar mandi saja susahnya minta ampun. Baru masuk, sudah dipanggil 'Ayah, Ayah di mana?'. Dari situ baru kita bisa menghargai, 'Oh begini dulu orang tua kita'," katanya.
Andy sendiri melihat bahwa masih banyak laki-laki yang mungkin merasa pekerjaan rumah seperti membereskan kasur, menyapu, mengepel, dan bersih-bersih itu sebagai sesuatu yang sepele. Gampang dilakukan, tapi dianggap remeh oleh laki-laki.
"Padahal, saya pikir, ini pekerjaan yang bisa jadi cara berolahraga di masa pandemi, kesempatan menggerakkan tubuh. Apalagi kalau lihat hasilnya rumah jadi bersih, rapi," katanya.
Mengusung kesetaraan gender juga bisa dibangun melalui support system. Misal, suami dan istri sama-sama bekerja, sama-sama tidak suka melakukan pekerjaan domestik, bagaimana jalan tengahnya? Bisa dengan mempekerjaan asisten rumah tangga. Ini adalah jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak. Suami istri bisa tetap bekerja dan berkarya, dan urusan domestik tetap terselesaikan dengan baik.
“Sebenarnya, menyediakan support system itu juga bisa jadi salah satu cara menolong perempuan agar mereka tidak didomestikasi. Di banyak negara maju, support system disediakan pemerintah. Di Jerman, misalnya, childcare di sana banyak banget. Untuk pasangan suami istri bekerja, mereka bisa menitipkan anak di childcare, kemudian pulang kerja diambil jam berapa. Saya pikir itu yang perlu diperjuangkan ke depan, yaitu dengan negara menyediakan support system yang baik untuk perempuan,” kata Andy.
Kontributor: Petty Lubis