Saham Unilever Sudah Terlalu Mahal
KATADATA ? Harga saham PT Unilever Indonesia Tbk sudah terlalu mahal. Pada sesi perdagangan pagi, Rabu (4/6), harga saham emiten berkode UNVR tersebut berada di posisi Rp 29.900 per saham atau turun 0,5 persen dibandingkan harga penutupan kemarin.
Padahal konsensus analis memprediksi harga saham Unilever pada 12 bulan ke depan sebesar Rp 28.332 per saham. Ini berarti harga saham Unilever saat ini sudah 5,5 persen lebih mahal dari target analis.
Berdasarkan lebih dari 20 analis, mayoritas menyarankan untuk melepas atau menahan (hold) saham emiten ini. Sementara analis yang menyarankan untuk membeli saham emiten yang masuk kategori Global Industry Classification Standard (GICS) consumer staples ini relatif lebih sedikit.
Harga saham Unilever tertinggi yang diperkirakan analis sebesar Rp 34.250 per saham, sedangkan yang terendah sebesar Rp 17.838 per saham. Konsensus analis memperkirakan harga rata-rata saham Unilever sebesar Rp 26.496 per saham.
Mahalnya harga saham Unilever tercermin dari tingginya rasio harga saham terhadap laba bersih atau price to earning ratio (PE) yang saat ini mencapai 40 kali. Demikian pula dengan rasio harga terhadap nilai buku atau price to book value (PBV) yang juga mencapai 40 kali.
Sebagai perbandingan, emiten yang juga termasuk masuk kategori consumer staples, sepertti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk memiliki PE dan PBV masing-masing sebesar 26 dan 4 kali.
Demikian pula dengan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk yang memiliki PE dan PBV masing-masing sebesar 30 dan 2,9 kali. Begitu juga dengan PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk yang memiliki PE dan PBV masing-masing sebesar 30 dan 4,7 kali.
Meski begitu, menurut analis PT Mandiri Sekuritas Herman Koeswanto, harga saham Unilever masih memiliki prospek yang tinggi. Dia memperkirakan harga saham Unilever akan mencapai Rp 34.500 per saham.
?Ini dibuktikan dengan kemampuannya menciptakan nilai yang kuat dengan tingkat ROE yang menguntungkan serta model bisnis yang efisien,? kata dia dalam risetnya beberapa waktu lalu.
Tahun lalu, ketika kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) mengalami perlambatan yakni hanya tumbuh 0,98 persen, saham Unilever pun seakan tidak terpengaruh. Sepanjang 2013 itu, harga saham Unilever justru tumbuh hingga 25 persen.
Pada kuartal I-2014, laba bersih Unilever turun 4,9 persen menjadi Rp 1,36 triliun dibandingkan realisasi periode sama tahun lalu Rp 1,43 triliun. Turunnya laba bersih perseroan tersebut merupakan dampak depresiasi nilai tukar. Ini menyebabkan terjadinya kenaikan harga bahan baku yang harus dibeli perseroan sebesar 22 persen.
Menurut Herman, penurunan tersebut tidak mencerminkan fundamental perseroan, sehingga dia menyarankan untuk ?membeli? saham tersebut. Dalam penilaiannya, perseroan akan mampu mengatasi dampak depresiasi kurs rupiah.
Ini berbekal pengalaman perseroan pada 2008. Ketika itu, laba bersih perseroan juga merosot pada tiga kuartal pertama 2008, sebelum akhirnya berhasil mencatatkan kenaikan hingga 88 persen pada kuartal IV-2008.
Kendati demikian, Herman melihat, ada beberapa risiko yang akan dihadapi perseroan, yakni seperti perlambatan ekonomi, volatilitas harga bahan mentah, masih berfluktuasinya nilai tukar rupiah, ketidak seimbangan suplai dan permintaan, serta risiko persaingan dengan produk perusahaan lain.