ADB: Birokrasi Masih Menghambat Perizinan Usaha
Paket Kebijakan 12 tentang kemudahan berusaha belum bisa maksimal. Pelaksanaannya masih terkendala oleh birokrasi. Hasil evaluasi Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) di lima kota bisnis Indonesia, menunjukkan betapa pengurusan legalitas usaha masih sulit.
ADB bersama dengan KPPOD melakukan survei di Jakarta, Surabaya, Medan, Balikpapan, dan Makassar. Tiga indikator untuk studi reformasi iklim usaha digunakan dengan mengadopsi kerangka pikir Ease of Doing Business, World Bank. Ketiganya yakni, memulai usaha, mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB), dan pendaftaran hak atas tanah dan bangunan.
Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng mengatakan ada tiga hal terkait pengurusan dokumen memulai usaha yang menghambat akses kesempatan berusaha. Pertama, berkaitan dengan pengurusan dokumen Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU). Dokumen ini menjadi prasyarat pendaftaran perusahaan di Kementerian Hukum dan HAM (seperti yang diberlakukan di Surabaya), penerbitan nomor pokok wajib pajak (NPWP) di Balikpapan, Medan, dan Jakarta, dan pengurusan surat izin gangguan/HO (Makassar).
Untuk mendapatkan dokumen yang pengurusannya dilakukan di tingkat kelurahan/desa ini, pelaku usaha seringkali harus merogoh kocek hingga Rp 1 juta. Praktik seperti ini ditemukan di Makassar. “Padahal SKDU ini tidak ada aturan yang jelas,” ujarnya. (Baca: Penyelesaian Sengketa Kecil Dipercepat untuk Permudah Usaha)
Kedua, terkait penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) yang proses penerbitannya membutuhkan waktu lama. Temuan di Balikpapan dan Surabaya, penerbitan dokumen ini bisa sampai waktu 14 hari. Ini terjadi karena implementasi yang belum efektif mengenai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 14 Tahun 2016 tentang penerbitan SIUP dan TDP secara simultan dan dalam waktu dua hari.
Ketiga, berkenaan dengan prosedur pengurusan HO. Meskipun Jakarta dan Surabaya telah menghapuskan ketentuan ini, beberapa pemerintah daerah seperti Makassar, Balikpapan, dan Medan masih memberlakukannya. Dalihnya Undang-Undang Gangguan (Hinder Ordonantie) yang belum dicabut. Padahal Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 22 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Permendagri 27/2009 tentang pencabutan izin gangguan, sudah terbit.
Mengenai hal ini, Staf Ahli Menko Perekonomian Bidang Pembangunan Daerah, Bobby H. Rafinus mengaku menerima banyak keluhan dari daerah terkait pencabutan HO. Alasannya HO menjadi sumber pemasukan yang cukup besar di beberapa daerah. “Sehingga mereka masih ada resistensi meskipun di beberapa daerah lain sudah ada yang mengikuti Permendagri,” jelasnya. (Baca: Istana Catat 15 Kementerian Buat Aturan Penghambat Investasi)
Lebih lanjut, Bobby mengaku masih banyak kelemahan pada tataran implementasi kebijakan Pemerintah Pusat di daerah. Walaupun dari sisi, hampir semua aturan yang menunjang iklim usaha sudah diterbitkan. Untuk mengatasinya, pemerintah pusat sudah sering berdialog dengan pemerintah daerah. Seperti yang dilakukan Kemendagri dengan membuka hubungan online terus menerus dengan pemda, agar mencabut biaya HO.
Direktur ADB untuk Indonesia Winfried F. Wicklein mengatakan upaya untuk terus menggalakkan kemudahan usaha di daerah, memegang peran penting. Terutama pada aspek memulai usaha, mendapatkan izin pendirian bangunan, dan pendaftaran hak atas tanah dan bangunan.
Penggunaan teknologi informasi dalam pengurusan setiap dokumen wajib untuk membuka usaha juga harus menjadi perhatian pemerintah. Selain upaya koordinasi yang harus terus dilakukan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. “Ini penting karena pemerintah daerah menjadi akar bagi keberhasilan reformasi iklim usaha di tingkat nasional,” ujarnya.
(Baca: Dongkrak Kemudahan Usaha, KemenPAN-RB Gagas Mal Pelayanan Publik)
Berdasarkan Survei Ease of Doing Business (EoDB) 2017, Indonesia menempati posisi 91 atau delapan tingkat lebih baik dari Filipina (99). Tapi posisi Indonesia jauh di bawah negara tetangganya, Malaysia (23) dan sesama negara ASEAN lain, Thailand (46). Capaian ini masih jauh dari target yang ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), agar Indonesia berada di posisi 40.