Bersengketa dengan RCTI, Sinemart Anggap Putusan Hakim Janggal
Sengketa Sinemart Indonesia dengan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) terkait penjualan saham 80% Sinemart kepada PT Indonesia Entertainment Grup, anak perusahaan PT Surya Citra Media Tbk, terus berproses. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 16 Maret 2017 yang memenangkan RCTI dengan putusan tanpa kehadiran (verstek) tergugat, dipermasalahkan pihak Sinemart.
Kuasa hukum Sinemart, Harry Ponto, menganggap putusan PN Jakarta Barat tersebut janggal dan mendesak Mahkamah Agung melakukan eksaminasi putusan. Sebelumnya mereka juga melaporkan kejanggalan ini kepada Komisi Yudisial.
“MA diharapkan melakukan eksaminasi putusan agar hakim lebih berhati-hati dan cermat dalam membuat putusan,” kata Harry, Rabu (25/10). (Baca: Gugatan Izin Semen Rembang Ditolak, Walhi Kaji Langkah Hukum Lanjutan)
Majelis hakim yang memutuskan perkara ini diketuai oleh Handry Hengki Suatan, dengan anggota Purwanto dan Steery M. Rantung. Gugatan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek tersebut diputuskan oleh majelis hakim yang sama. Verzet yang diajukan pendiri Sinemart, Leo Sutanto, pada 27 April 2017, ditolak hakim.
Latar belakang kasus ini dimulai dari gugatan RCTI yang dimiliki Hary Tanoesoedibjo, yang merasa dirugikan atas penjualan 80% saham Sinemart kepada PT Indonesia Entertainment Grup, anak perusahaan PT Surya Citra Media Tbk. RCTI menganggap penjualan tersebut melanggar perjanjian lisan antara Hary Tanoe dan Leo Sutanto pada 2003 mengenai penjualan program secara eksklusif hanya kepada RCTI.
RCTI mengajukan gugatan pada 6 Januari 2017, dan hakim mengambil putusan verstek dalam waktu dua bulan 10 hari. Harry Ponto menyoroti beberapa kejanggalan dalam putusan ini.
(Baca: Dirut PT ADI Diduga Perintahkan Suap untuk Tolak Gugatan Perkara)
Pertama, pengiriman gugatan Sinemart ke alamat gudang kosong di Jl. H. Soleh I, Sukabumi Selatan, Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Padahal, kata Harry, selama sekitar 13 tahun, ini RCTI selalu berhubungan dengan Leo Sutanto dan Sinemart di kantor Sinemart di Komplek Ruko Kedoya Elok Plaza, Jalan Raya Panjang, Jakarta Barat.
“RCTI sendiri mengajukan bukti berupa Perjanjian Jual Beli Program Acara antara RCTI dengan Sinemart dan juga surat menyurat. Semua dokumen itu menunjuk bahwa alamat Sinemart di Ruko Kedoya Elok Plaza,” kata Harry.
Kedua, tanggal gugatan mendahului tanggal jual beli saham. “Gugatan verstek RCTI diajukan pada 6 Januari 2017 sebelum jual beli mayoritas saham Sinemart kepada anak usaha SCTV pada 23 Januari 2017.”
Ketiga, perjanjian lisan dianggap tanpa saksi dan Leo Sutanto menyanggah mengenai perjanjian lisan tersebut. “Apalagi selama 2003-2007, Sinemart juga menjual programnya ke pihak lain dan tak diprotes RCTI,” kata Harry.
Keempat, perhitungan kerugian yang harus dibayarkan Sinemart sebesar Rp 2,6 triliun berdasarkan turunnya nilai saham induk perusahaan RCTI, PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC) pada akhir Desember 2016. Harry menganggap perhitungan kerugian tersebut mengada-ada karena naik-turunnya saham merupakan hal yang biasa.
Sementara itu kuasa hukum RCTI, Andy Simangunsong menjelaskan, vonis PN Jakarta Barat telah inkracht dan pihaknya telah mengajukan eksekusi mendapatkan ganti rugi Rp 2,6 triliun. “Perhatian utama kami mengejar eksekusi ganti rugi Rp 2,6 triliun,” kata Andy ketika dihubungi Katadata, Rabu (25/10).
Andy menyatakan putusan verstek merupakan hal yang biasa. “Yang bersangkutan tidak datang, itu urusan lain, tapi surat yang dikirimkan berdasarkan alamat yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM,” kata Andy.
Andy juga mengatakan perjanjian lisan eksklusivitas itu sudah dibuktikan lewat beberapa keterangan saksi di pengadilan. “Silakan mengajukan gugatan, tapi keputusan ini sudah inkracht dan tak dapat digugat kembali,” kata Andy.