Kisruh Tudingan La Nyalla soal Mahar Politik di Gerindra
Partai Gerindra menjadi pusat perhatian terkait tudingan mahar politik dalam proses pencalonan kepala daerah 2018. Tudingan disampaikan mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur La Nyalla Mattaliti, berdasarkan pengalamannya menjalani proses sebagai calon pilgub Jawa Timur.
Dalam konferensi pers, Kamis (11/1) La Nyalla mengungkapkan kronologi dirinya dimintai sebesar Rp 40 miliar. Uang tersebut diminta Prabowo dengan dalih uang saksi untuk 68 ribu TPS pada 9 Desember 2017 saat mereka bertemu di Hambalang, Jawa Barat.
Sebelum tanggal 9 Desember, La Nyalla juga menyatakan sempat dimintai secara langsung oleh Prabowo untuk menyiapkan Rp 200 miliar. La Nyalla awalnya hanya menganggap ucapan Prabowo itu bercanda. "Saya pikir main-main, ternyata ditagih betul Rp 40 miliar," kata La Nyalla.
(Baca: PDIP dan Gerindra Bakal Kerja Sama Usung Gus Ipul-Puti di Pilgub Jatim)
La Nyalla menyatakan tak bermasalah bila harus mengeluarkan uang. Namun, ia menolak mengeluarkannya sebelum ada rekomendasi resmi dari Gerindra untuk maju di Pilkada Jatim. La Nyalla yang belakangan tak mendapatkan rekomendasi dari Gerindra di Pilgub Jatim menyatakan mundur dari partai tersebut.
Keterangan La Nyalla ini mendapat bantahan dari Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria. Riza mengatakan, partainya juga Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto tak pernah mengambil keuntungan dari pasangan calon untuk kepentingan tertentu.
Riza mengklaim jika yang terjadi justru sebaliknya. Partai Gerindra yang malah mengeluarkan dana untuk bisa mendorong pasangan calon tertentu memenangkan Pilkada. "Bahkan duit pribadi Pak Prabowo malah keluar," kata Riza saat dihubungi Katadata, Jumat (12/1).
Riza mengakui jika Pilkada membutuhkan biaya, baik untuk kampanye, atribut, kegiatan, hingga saksi. Namun, uang tersebut juga didapatkan melalui dukungan partai politik, kader, simpatisan, dan relawan.
"Jadi enggak benar kalau pasangan calon umumnya pakai uang sendiri. Enggak bisa juga. Pasti pakai dukungan partai politik, relawan, kader," kata Riza.
(Baca: Survei LSI: Semakin Religius Seseorang Tak Menjamin Bebas Korupsi)
Riza menyatakan bahkan Gerindra yang membiayai kampanye saat mengusung Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu. Ketika itu, Riza mengatakan jika Gerindra berani mengusung Jokowi-Ahok ketika partai lain mendukung Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli.
"Saat itu Pak Jokowi enggak ada uang. Disampaikan 'ya sudah nanti kita sama-sama mencari pembiayaan', termasuk Pak Prabowo dan Pak Hashim siap membiayai. Kami, Gerindra juga keluar uang sampai Rp 62,5 miliar untuk mendukung Pak Jokowi-Ahok," kata Riza.
Meski membantah, Riza menyatakan tak mempermasalahkan ucapan La Nyalla. Riza mengatakan, dia memahami pernyataan La Nyalla terkait mahar politik tersebut. Menurut Riza, La Nyalla merupakan kader Gerindra yang telah bergabung dan mendukung Prabowo di Pilpres 2014. La Nyalla juga dianggap telah membesarkan Gerindra di Jawa Timur.
"Beliau juga melakukan sosialisasi kampanye beberapa bulan terakhir, Pilkada kan perlu proses, perlu waktu, perlu energi yang keluar. Kami memahami itu, mengerti posisi," kata Riza.
Riza juga menjelaskan alasan Gerindra tak dapat memberikan dukungan kepada La Nyalla dalam Pilkada Jawa Timur. Alasannya, kursi Gerindra di DPRD Jawa Timur kurang untuk bisa mencalonkan La Nyalla dalam Pilkada.
"Gerindra kan kursinya tak sampai 20. Enggak bisa ngusung sendiri dan butuh koalisi dari teman-teman," kata Riza.
Adapun, koalisi untuk bisa mendukung La Nyalla tak kunjung tercipta karena beberapa partai lain telah memiliki pilihan mendukung Syaifullah Yusuf-Ida Fauziyah maupun Khofifah Indar Parawansa-Emil Elistianto Dardak. Riza mengatakan Gerindra sudah mengusahakan pembentukan koalisi tersbebut.
"Artinya kami pro awalnya ingin mengusung satu poros baru, di antaranya yang masuk dalam nominasi itu La Nyalla," kata Riza.
(Baca: ICW Catat Sepuluh Potensi Korupsi di Pilkada Serentak 2018)
Mahar politik sebagai bentuk korupsi
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, mahar politik merupakan salah satu potensi korupsi yang laten terjadi di setiap pemilihan kepala daerah. Mahar politik tersebut lazim dilakukan agar calon kepala daerah dapat dipinang partai untuk maju dalam kontestasi Pilkada.
Menurut Donal, nilai mahar politik bahkan bisa mencapai Rp 20 miliar. Kendati masalah ini kerap tak diakui baik oleh bakal calon maupun partai politik karena dianggap akan merusak lobi yang telah dilakukan.
"Padahal masalah ini sangat krusial, tapi KPK dan Bawaslu belum bisa memproses mahar politik," kata Donal.
Pengamat politik Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya menambahkan, mahar politik saat ini sudah menjadi tradisi, namun sulit dibuktikan. Yunarto mengatakan mahar politik biasanya diserahkan dalam bentuk uang tunai, sehingga sulit terlacak.
"Sulit (terlacak) kalau distribusinya lewat Rupiah," kata Yunarto.
Selain itu, mahar politik biasanya juga diberikan dalam bentuk masa uang asing. Pada 2018, Yunarto menilai jika jumlah mahar politik lebih besar dibandingkan Pilkada-pilkada sebelumnya.
"Tahun 2018 ini bukan hanya paling besar, tapi saya lihat di 2018 ada kenaikan berkali-kali lipat," kata Yunarto.
Menurut Yunarto, mahar politik lazim dilakukan oleh partai-partai yang urung memasang kadernya melenggang dalam Pilkada 2018. Selain itu, potensi mahar politik biasanya dilakukan oleh partai-partai yang memberikan rekomendasinya di menit-menit terakhir pendaftaran calon.
"Yang biasanya di injury time, proses pembahasannya tarik ulur," kaa Yunarto.