Ekonom Bicara Kejatuhan Rupiah dan Kebijakan Bunga BI
Nilai kurs rupiah pada akhir pekan ini cukup membetot perhatian pelaku pasar. Dalam waktu cepat sejak perdagangan pagi Jumat kemarin, rupiah melemah melewati 13.800 per dolar Amerika Serikat. Bahkan mata uang Indonesia sempat makin jatuh dan hampir melewati batas psikologi baru di level 13.900.
Mengacu pada data Bloomberg, nilai tukar rupiah berada pada level 13.883 per dolar Amerika pada perdagangan di pasar spot, Jumat (20/4/2018). Artinya, rupiah melemah 0,71 persen dari penutupan hari sebelumnya. Kemarin, pergerakan nilai tukar rupiah terpantau pada kisaran Rp 13.768 - 13.887.
Sejumlah ekonom melihat faktor eksternal menjadi pemicu utama. Pelaku pasar merasa khawatir akan kebijakan baru bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, yang lebih agresif dari rencana semula. Hal ini didorong oleh laporan keuangan perusahaan-perusahaan di Wall Street yang positif. (Baca: Rupiah Tembus 13.800, BI Yakin Mampu Bertahan).
Membaiknya kinerja para emiten, demikian dalam laporan Reuters kemarin, membuka kemungkinan meningkatnya inflasi di negeri Paman Sam. Alhasil, pelaku pasar menduga The Fed bakal menaikkan suku bunga acuan lebih dari tiga kali pada tahun ini untuk meredamnya. Imbasnya, investor menarik dananya dari negera-negara emerging market, kekhawatiran yang turut memukul rupiah.
Namun ada pula yang melihat hal ini tak terlepas dari situasi di dalam negeri terutama kebijakan moneter yang dibuat Bank Indonesia. Pada Kamis, sehari sebelum rupiah terperosok cukup dalam, bank sentral baru memutuskan untuk menahan suku bunga acuan, BI 7 Days Repo Rate, dan tidak menaikkan dari level 4,25 persen. Pertimbangan utamanya untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Keputusan tersebut makin membuat selesih BI Rate dan Fed Rate menyempit.
Bagi ekonom Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, alasan tersebut sebenarnya sudah tepat. Selain menjaga momen pertumbuhan secara umum, kebijakan tersebut sesuai untuk mendorong bisnis perbankan. “Supaya lebih bergerak karena suku bunga masih pada level rendah,” kata Gunarto kepada Katadata.co.id.
Lebih jauh, ia mengatakan level suku bunga acuan tersebut dapat mendorong pertumbuhan kredit yang masih single digit. Karena itu, keputusan BI dinilai dengan perkembangan moneter walau rupiah melemah. (Baca pula: Penyaluran Kredit Menurun, BI: Sesuai Konsumsi Masyarakat).
Walau demikian, dia memprediksi kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin akan diambil BI pada Juni. Pertimbangannya terkait kemungkinan kenaikan inflasi, sementara dari luar negeri ada tekanan eksternal, yaitu kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat, The Fed Rate.
Bila benar bunga acuan naik pada kuartal ketiga, Gunarto menduga tidak berdanpak banyak pada perbankan. “Kenaikan bisa menjadi stabilitator buat ekonomi, khususnya moneter untuk antisipasi tekanan ke eksternal,” ujar dia. (Baca juga: Alasan Penting di Balik BI Pertahankan Suku Bunga Acuan 4,25 %).
Sementara itu, ekonom Bank Tabungan Neagara (BTN) Winang Budoyo mengatakan keputusan BI sudah sesuai dengan kebutuhan perbankan. Perbankan dapat terus melakukan konsolidasi sekaligus berupaya mendorong pertumbuhan kredit.
Atas kejatuhan rupiah kali ini, BI meyakinkan tetap berfokus menjaga stabilitas perekonomian yang menjadi landasan utama terciptanya pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan. Walau demikian, beberapa risiko perlu dicermati. “Peningkatan pertumbuhan ekonomi global bersumber dari perbaikan ekonomi negara maju dan negara berkembang yang terus berlanjut,” kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo.