BPOM Perkirakan Kerugian Akibat Obat Palsu Rp 46 Miliar
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat, ada 370 temuan obat palsu saat operasi pangea ke-10. Dari temuan tersebut, nilai kerugian atas obat palsu mencapai Rp 46 miliar tahun lalu.
Jumlah tersebut meningkat signifikan di banding 2011 yang hanya 30 temuan. Nilai kerugiannya pun naik 561 kali lipat. "Saat itu, nilai kerugiannya hanya Rp 82 juta," ujar Direktur Intelijen BPOM Wildan Sagi saat seminar bertajuk 'Tantangan & Solusi Mengatasi Peredaran Barang Palsu dalam E-Commerce' di Lounge Paska Sarjana Universitas Pelita Harapan (UPH), Jakarta, Senin (30/4).
Salah satu penyebab lonjakan tersebut adalah banyaknya obat palsu yang diperdagangkan melalui e-commerce. Atas dasar peningkatan tersebut, ia merasa perlu dukungan banyak Kementerian dan Lembaga (K/L) dalam mengawasi perdagangan obat palsu secara online. Oleh karenanya, ia mengapresiasi langkah Kementerian Kesehatan yang tengah menggodok Peraturan Menteri (Permen) Kesehatan terkait e-farmasi.
(Baca juga: Kimia Farma Jajaki Akuisisi Perusahaan Farmasi dan Rumah Sakit)
Direktur Pengawasan Distribusi dan Prlayanan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Hardaningsih pun mengusulkan delapan hal untuk bisa dimasukkan dalam Permen tersebut. Pertama, penetapan sarana atas e-farmasi harus jelas baik itu apotek, pedagang besar farmasi (PBF), ataupun toko obat. “Semuanya juga harus memiliki izin secara offline. "Jadi harus ada fisiknya juga," ujar dia.
Kedua, memetapkan standar pelayanan kefarmasian sesuai peraturan perundang-undangan. Ketiga, melarang orang perorangan menjual obat secara online. Keempat, melarang penjualan melalui media sosial. Kelima, obat yang dijual harus memiliki izin. Lalu, khusus untuk obat yang bersifat keras harus berdasarkan resep dokter resmi sekalipun secara elektronik (e-prescription).
Keenam, mempertegas larangan penjualan narkotika dan psikotropika baik secara online ataupun offline. Ketujuh, sistem pengantaran atau distribusi milik sendiri. "Tidak boleh melalui Go-Send ataupun sejenisnya. E-farmasi harus bertanggung jawab terhadap sistem pengantaran," kata dia. Terakhir, harus disediakan layanan konsultasi di situs atau aplikasi e-farmasi yang bersangkutan.
(Baca: Industri Bahan Baku Obat Perlu Dukungan Pemerintah)
Selain itu, ia mengusulkan dua poin terkait pengawasan terhadap e-farmasi. Pertama, apotek dan sarana e-farmasi lainnya harus bisa diperiksa secara offline dan online. Kedua, petugas akan rutin melakukan pemeriksaan.
Menurut dia, kesepuluh hal ini penting lantaran ada banyak obat palsu yang dijual secara masif. Bahkan, pemasarannya dilakukan secara terbuka padahal obat tersebut terlarang, seperti obat pengugur kandungan atau obat bius. Belum lagi, harga tang berbeda-beda dan selisihnya signifikan.