Gejolak Kurs Rupiah Diprediksi Bisa Berlangsung Hingga Akhir Tahun
Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus berlanjut sejak akhir Januari 2018. Para ekonom tak dapat memprediksi sampai kapan depresiasi terjadi, namun gejolak nilai tukar rupiah kemungkinan bakal berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Ekonom senior Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah memprediksi gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan berlangsung hingga akhir tahun atau tahun depan. "Diperkirakan akan cukup panjang," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (23/5).
(Baca juga: Rupiah di Atas 14 Ribu, Kadin: Baik untuk Ekspor, Menyulitkan Impor)
Menurut dia, ada beberapa faktor yang membuat nilai tukar rupiah cenderung bergejolak, di antaranya kenaikan bertahap bunga acuan AS atau Fed Fund Rate seiring perbaikan ekonomi di negara tersebut. Kenaikan tersebut memicu arus keluar dana asing dari pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga permintaan dolar AS meningkat.
Faktor lainnya, kondisi defisit transaksi berjalan yang terkadang diperburuk oleh neraca perdagangan yang defisit. Defisit tersebut menunjukkan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan valas dalam perdagangan internasional Indonesia.
Jumlah pembayaran utang luar negeri pada tahun ini juga disebut Piter jauh lebih besar dibandingkan tahun lalu. Alhasil, kebutuhan valasnya pun membesar dan bisa memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, utang yang jatuh tempo pada tahun ini mencapai Rp 400 triliun. Utang yang harus dibayar itu mencapai 10,4% dari keseluruhan pinjaman pemerintah yang mencapai Rp 4.034 triliun.
(Baca juga: Rupiah Anjlok, Gubernur BI: Ekonomi 2018 Lebih Kuat dari 1998 dan 2008)
Dengan perkembangan tersebut, ia pun menilai perlu ada penyesuaian asumsi nilai tukar rupiah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Asumsi yang digunakan masih sebesar Rp 13.400 per dolar AS. Sementara saat ini, nilai tukar rupiah telah berada di atas Rp 14.000 per dolar AS.
"Tidak hanya nilai tukar tapi juga harga minyak dan lainnya (perlu penyesuaian)," kata Piter.
Di sisi lain, Ekonom Eric Sugandi mengatakan faktor eksternal memiliki pengaruh kuat dalam memberikan tekanan kepada nilai tukar rupiah lantaran kepemilikan asing yang relatif besar pada Surat Berharga Negara (SBN) dan saham domestik membuat faktor eksternal.
"Ketika ada outflows (aliran dana keluar) dari investor asing, rupiah bisa tertekan," ujarnya.
Di luar itu, ia menyebut faktor musiman berupa repatriasi dividen dan bunga oleh investor asing juga memberi tekanan kepada nilai tukar rupiah. Namun, Eric meyakini rupiah dapat menguat kembali jika tekanan eksternal dan musiman dari repatriasi mereda. "Rupiah bisa berangsur menguat di semester II 2018," katanya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, kondisi defisit neraca dagang juga turut memberikan tekanan kepada nilai tukar rupiah. Jika defisit neraca dagang berlanjut, kekuatan fundamental ekonomi Indonesia dalam menopang rupiah dapat semakin buruk.
Dalam beberapa hari ke depan, Eric memperkirakan pergerakan nilai tukar rupiah berada pada kisaran 14,050-14,250 per dolar AS. Adapun pada perdagangan di pasar spot, Rabu (23/5), nilai tukar rupiah diperdagangkan di rentang 14.143-14.213 per dolar AS.