Rupiah Tembus 14.400 per Dolar AS, Termasuk Mata Uang Terlemah
Nilai tukar rupiah menembus 14.400 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (29/6). Ini artinya, rupiah terdepresiasi nyaris 6% sepanjang tahun ini (year to date/ytd) dan masuk dalam jajaran mata uang negara berkembang yang paling terpukul oleh dolar AS.
Mengacu pada data Bloomberg per Kamis (28/6), mata uang negara berkembang yang anjlok paling besar yaitu peso Argentina (33,71%), lira Turki (17,15%), real Brazil (14,3%), dan rand Afrika Selatan (10,08%). Sementara itu, di kawasan Asia, pelemahan paling besar dialami rupe India (7,15%), peso Filipina (6,74%), dan rupiah (5,71%).
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menduga terpukulnya rupiah bukan hanya karena faktor eksternal, seperti kekhawatiran terkait memanasnya perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. "Karena pelemahan rupiah termasuk yang paling besar di antara negara-negara emerging markets, maka patut diduga ada faktor internal kita," kata Tony kepada Katadata.co.id, Jumat (29/6).
Faktor internal yang dimaksud yakni kinerja neraca perdagangan yang masih defisit. Pada Mei lalu, defisitnya mencapai US$ 1,52 miliar. Dengan demikian, secara kumulatif, defisit neraca perdagangan sepanjang lima bulan pertama tahun ini telah mencapai US$ 2,83 miliar. Padahal, pada periode sama tahun lalu, neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 5,98 miliar.
Selain itu, merosotnya cadangan devisa juga disinyalir jadi faktor lain yang memperburuk nilai tukar rupiah. Per akhir Mei lalu, cadangan devisa tercatat berada di level US$ 122,914 miliar, atau turun US$ 9,08 miliar dalam empat bulan. (Baca juga: Rupiah Melemah, Cadangan Devisa Berkurang US$ 9 Miliar Sejak Februari)
Melihat perkembangan nilai tukar rupiah, Tony pun meyakini BI akan mengerek kembali suku bunga acuan BI 7 Days Repo Rate dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan yang digelar pada 28- 29 Juni ini. “Dengan demikian, otot rupiah akan kembali menguat,” kata dia. Dalam pandangannya, nilai fundamental rupiah seharusnya berada di bawah Rp 14.000 per dolar AS.
(Baca juga: Kurs Rupiah Merosot, Ekonom Serukan Kenaikan Bunga Acuan)
Ia menyarankan kenaikan BI 7 Days Repo Rate sebesar 0,25% ke level 5%. Ia tidak menyarankan kenaikan lebih besar lantaran dapat menimbulkan kesan bahwa BI panik dan menjadi sentimen negatif bagi pasar. "Pasar bisa kian agresif membeli dolar AS," ujar dia.
Senada dengan Tony, Ekonom Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah juga menyebut persoalan defisit neraca dagang sebagai salah satu faktor pemberat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Faktor lainnya kenaikan suku bunga Amerika, Fed Fund Rate, serta kisruh perdagangan dunia yang mengarah ke perang dagang." kata dia. Untuk menstabilkan rupiah, Piter beraharap BI kembali mengerek bunga acuan sebesar 0,25%.