Peluang Fintech Jadi Mesin Pendorong UMKM dan Ekonomi Syariah
Teknologi finansial atau fintech berpeluang menjadi platform untuk meningkatkan akses pendanaan bagi segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta keuangan syariah. Fintech memiliki fleksibilitas dengan layanan dan produk yang lebih mudah menjangkau konsumen dibandingkan dengan layanan jasa keuangan konvensional.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mengatakan, tingkat penetrasi fintech yang tinggi mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat, terutama segmen yang tidak memiliki akses terhadap keuangan, seperti UMKM. Fintech juga dapat digunakan untuk memperluas cakupan keuangan syariah.
Hal ini terlihat dari pesatnya perkembangan fintech peer to peer lending di Indonesia yang mencapai 70 perusahaan per Agustus 2018. Akumulasi nilai pinjaman yang disalurkan melalui fintech P2P mencapai Rp 11,68 triliun, tumbuh 355,73% (year to date). Jumlah rekening pemberi pinjaman mencapai 150.061 entitas atau tumbuh 48,66% sedangkan rekening peminjam mencapai 1,85 juta entitas, meningkat 611% sejak awal tahun ini. Berdasarkan Fintech Report 2017, terdapat kurang lebih 196 perusahaan rintisan di bidang fintech di Indonesia dengan total investasi mencapai US$ 176,75 juta dengan produk serta model bisnis yang baru.
“Dengan layanan dan produknya yang lebih mudah diakses, fintech dapat mendorong industri keuangan syariah maju dan mengatasi masalah yang telah menghambat pertumbuhan keuangan syariah,” kata Nurhaida dalam Seminar Fintech Talk di Hotel Ayana, Bali, Jumat (12/10).
Menurut OJK, segmen UMKM berperan besar dalam perekonomian Indonesia karena menyerap 60% dari lapangan pekerjaan dan berkontribusi hingga 40% dari PDB. Namun, UMKM dinilai unbankable karena keterbatasan jaminan. Sementara itu, penetrasi keuangan syariah masih di bawah 6% dari total industri perbankan di Indonesia. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
(Baca: Beda Aturan Fintech dan Industri Keuangan Konvensional)
CEO Lenddo Richard Aldridge menceritakan pengalamannya memberikan layanan keuangan kepada UMKM. "Saya dulu tinggal di Filipina lalu di India, di mana akses layanan keuangan untuk UMKM masih terbatas. Ada peluang yang besar di sini, Bank Dunia menyebutkan 200 juta UMKM di dunia belum memiliki akses terhadap layanan jasa keuangan," kata Aldridge.
Fintech bisa bergerak di berbagai lini jasa keuangan, bukan hanya P2P lending. Ada sektor lainnya, seperti pembayaran, asuransi, tabungan, pengelolaan investasi, hingga pengumpulan dana. Lenddo memberikan layanan credit scoring berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan biaya yang lebih murah dibandingkan perusahaan jasa keuangan konvensional. Pasalnya, biaya distribusi melalui teknologi lebih rendah.
Literasi dan Privasi Data
Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Perlindungan Konsumen Tirta Segara mengatakan, tantangan yang dihadapi oleh OJK dan fintech saat ini adalah meningkatkan literasi masyarakat terhadap produk keuangan digital. "Banyak orang beli produk keuangan secara digital tapi nggak tahu cara menggunakannya," ujar Tirta. Oleh karena itu, literasi mengenai produk-produk jasa keuangan akan terus ditingkatkan.
Deputi Departemen Statistik IMF Gabriel Quiros mengatakan, perkembangan fintech dan big data menimbulkan kekhawatiran terhadap privasi data konsumen. Di satu sisi, fintech bisa memberikan layanan kepada konsumen dengan harga yang murah. Namun di sisi lain, perusahaan fintech menjual data konsumen untuk keuntungan perusahaan.
"Facebook mendapatkan informasi dengan big data tentang personalisasi penggunanya," ujar Quiros. Dari data tersebut, Facebook dapat merekomendasikan layanan keuangan yang sesuai dengan penggunanya. Untuk menghindari penyalahgunaan data pengguna, harus ada kerja sama antarpemerintah internasional untuk melindungi aset data tersebut.
(Baca: Tren Dunia: Bank Adopsi Teknologi atau Kolaborasi dengan Fintech)