Politik Uang Akan Semakin Meningkat di Pilpres 2019
Praktik politik uang berpotensi terjadi pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2019. Bahkan, praktik ini diperkirakan bakal lebih tinggi ketimbang Pileg 2014 karena Pileg 2019 masih menggunakan sistem proporsional terbuka yang fokus kepada calon anggota legislatif (caleg) ketimbang partai politik.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, pemilih yang mendapatkan tawaran politik uang pada Pileg 2014 mencapai 33%. "Di 2019, kita akan mendapatkan insiden politik uang yang lebih besar dibanding 2014," kata Burhanuddin dalam diskusi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Jumat (8/2).
Pemilih yang telah mendapatkan tawaran politik uang hingga Desember 2018 saja sudah mencapai 5%. Padahal, di periode yang sama pada Pileg 2014, pemilih yang mendapatkan tawaran politik uang hanya 3%.
Menurutnya, angka ini akan semakin meningkat jelang hari pemungutan suara pada 17 April 2019. "Semakin dekat dengan hari H itu semakin naik (politik uang)," kata Burhanuddin. Potensi peningkatan politik uang tahun ini lantaran Pileg 2019 masih menggunakan sistem proporsional terbuka. Menurutnya, sistem proporsional terbuka membuat kontestasi politik justru berfokus pada caleg ketimbang partai politik.
Alhasil, para caleg harus bersaing untuk mendapatkan insentif elektoral, bahkan dengan kandidat lain dari partainya sendiri. Hal ini membuat para caleg melakukan segala cara untuk bisa menggalang suara pemilih, termasuk menggunakan politik uang. "Caleg punya insentif menggunakan politik uang karena desain institusinya masih sama," kata Burhanuddin.
(Baca: KPU Ancang-ancang Umumkan Caleg yang Tak Buka Data Pribadi)
Kompetisi Personal
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz. Sistem proporsional terbuka membuat kompetisi dalam Pileg menjadi sangat personal.
Kompetisi personal itu menjadi ketat karena saat ini ada 7.968 caleg DPR yang bersaing. Belum lagi di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu caleg.
Sementara, waktu bagi para caleg untuk menawarkan programnya kepada publik semakin pendek. Alhasil, praktik-praktik politik uang tersebut dilakukan untuk dapat menarik suara pemilih. "Mempertarungkan program di durasi waktu yang sangat mepet enggak terlalu punya dampak. Maka yang paling mudah kan konteks jual-beli suara," kata August.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar menilai, politik uang berpotensi meningkat karena jumlah caleg dan partai politik semakin banyak di Pileg 2019. Dengan platform dan tawaran program yang mirip, pemilih akan kesulitan membedakan kualitas para caleg.
Alhasil, pemilih pun berpikir pragmatis ketika memilih seorang caleg. "Di situasi yang bingung, pemilih itu memilih yang pasti ada kontribusinya," kata Bahtiar.
Penyebab lain meningkatnya politik uang karena Pileg 2019 dilakukan secara serentak dengan Pilpres. Alhasil, fokus pemantauan dan pengawasan, baik oleh penyelenggara pemilu, media massa, dan publik lebih tertuju kepada Pilpres 2019. "Akhirnya pertarungan di bawah lebih brutal. Karena monitor kurang, dugaan saya (politik uang) naik," kata Burhanuddin.
(Baca: KPK Dukung KPU Tak Lantik Caleg Terpilih yang Belum Laporkan Kekayaan)