Aturan Kantong Plastik Berbayar Tuai Kritikan Lembaga Konsumen
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritisi sejumlah poin aturan Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) atau kantong plastik berbayar yang kembali dilakukan perusahaan retail modern. Hal ini dinilai tak efektif menekan konsumsi plastik karena pengenaan biayanya yang terlalu murah.
Seperti diberitakan sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) kembali memberlakukan kebijakan kantong plastik berbayar Rp 200 per lembar di gerai retail modern sejak 1 Maret 2019. Sejalan dengan hal itu, Aprindo akan memberlakukan kantong plastik sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) yang lebih ramah lingkungan.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan bahwa istilah Kantong Plastik Tidak Gratis sebagai suatu hal menyesatkan. Sebab, semua biaya operasional pelaku usaha sudah dimasukkan dalam harga yang dibebankan kepada konsumen. “Karena memang tidak ada kata gratis untuk kantong plastik,” kata Tulus Abadi, Jakarta, Senin (4/3).
(Baca: Peretail Kembali Terapkan Plastik Berbayar Rp 200 Mulai Besok)
Langkah tersebut juga dinilai tak akan efektif untuk mengurangi penggunaan kantong plastik oleh konsumen. Dengan harga plastik Rp 200 per kantong tidak akan mengganggu daya beli konsumen. Meski menggunakan 5-10 kantong plastik saat belanja, biaya konsumen hanya Rp 1.000 - 2.000. “Sebuah angka nominal yang tidak signifikan,” kata Tulus.
Menurut dia, Aprindo seharusnya bertindak lebih progresif. Misalnya, meweajibkan menggunakan kantong plastik ramah lingkungan sesuai rekomendasi Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sebab, penggunaan masif kantong plastik saat ini sangat mengkhawatirkan. “Sudah seharusnya pemerintah, pelaku usaha, produsen, dan konsumen bersinergi secara radikal mengurangi penggunaan kantong plastik,” kata Tulus.
(Baca: Pengusaha Retail Tolak Larangan Penggunaan Kantong Plastik)
Karenanya, kata Tulus, perlu ada kebijakan dan gerakan nasional dari pemerintah pusat dan bukan terfragmentasi secara sporadik di masing-masing daerah. Hal ini menunjukkan pemerintah, seperti KLHK, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian kurang serius menangani masalah sampah plastik. “Seharusnya bukan hanya menyasar retailer modern saja, juga pasar-pasar tradisional. Misal, Perusahaan Dagang Pasar Jaya,” ujar Tulus.
Meski demikian, menurutnya, permasalahan ini bukan hanya mencakup kantong plastik melainkan pembungkus plastik, seperti plastik kemasan makanan, minuman, dan kosmetik harus berbasis ramah lingkungan. Sebab, sampah pembungkus berkontribusi signifikan terhadap pencemaran lingkungan.