Sejarah Kontroversial Brexit dan Peran Perdana Menteri Inggris

Ameidyo Daud Nasution
28 Mei 2019, 16:42
inggris keluar dari uni eropa, brexit, theresa may, perdana menteri inggris mundur
ANTARA FOTO/REUTERS/Yves Herman
Perdana Menteri Inggris Theresa May dan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker di kantor pusat Komisi Eropa di Brussels, Belgia, Jumat (8/12).

Perundingan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit) yang begitu alot telah memakan korban. Perdana Menteri Theresa May terpaksa mundur usai proposal teranyar Brexit yang ia tawarkan ditolak Parlemen Inggris. Ini kali keempat proposal serupa ditampik parlemen.

Selain itu, dukungan dari Partai Konservatif, tempatnya bernaung,  mulai menipis. Andrea Leadsom menyatakan mundur dari posisi pertama di Dewan Pimpinan Rakyat Inggris. May menyerah setelah diminta melepaskan jabatannya oleh Eksekutif Komite Partai Konservatif.

Dalam pidatonya, May, perdana menteri wanita kedua setelah Margaret Thatcher, mengaku sangat menyesal tak dapat menyelesaikan kesepakatan Brexit. Hal tersulit adalah meyakinkan anggota parlemen untuk menyetujui kesepakatan yang diajukan pemerintah. 

"Sudah jelas bagi saya bahwa perdana menteri yang baru akan memimpin usaha tersebut," kata May seperti dikutip Reuters, Jumat (24/5). Ia sempat menangis saat mengumumkan pengunduran diri.

Pembahasan Brexit menjadi berlarut-larut usai referendum Inggris pada 2016. Hasil jajak pendapat itu sebenarnya memenangkan kubu yang ingin Inggris hengkang (leave) dari Uni Eropa dengan persentase 51,8 persen melawan 48,1 persen yang ingin Inggris tetap bersama Benua Biru tersebut.

Dalam Artikel 50 Perjanjian Uni Eropa yang diaktivasi usai referendum, disepakati tenggat awal realisasi keluarnya Inggris dari Uni Eropa paling lambat rampung 30 Maret 2019. Namun, hingga kini belum jugaterealisasi. Hal ini terancam membuat Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (hard brexit) pada 31 Oktober 2019.

(Baca: Pemimpin Eropa Sepakati Penundaan Brexit hingga Akhir Oktober 2019)

Hard Brexit memungkinkan Inggris mendapat hak-nya sebagai negara yang bebas tanpa terikat Uni Eropa. Namun, mayoritas ekspor Inggris ke Uni Eropa akan terkena tarif 1-10 persen. Sedangkan, Soft Brexit akan membuat Inggris masih dapat mengakses pasar bebas Uni Eropa. 

Di bawah kepemimpinan May, pemerintah Inggris gagal meyakinkan parlemennya sendiri untuk menyepakati perundingan. Isinya antara lain, uang yang harus dibayar untuk biaya perceraian 39 miliar poundsterling, hingga urusan perbatasan dengan Irlandia yang masuk dalam Uni Eropa.

Alotnya Brexit juga membuat bongkar-pasang kabinet di Pemerintahan Inggris. Tercatat sudah dua kali pergantian menteri yang mengurus Brexit, mulai dari David Davis, Dominic Raab, hingga saat ini Stephen Barclay.

Dua orang yang disebut pertama mengaku tidak percaya dengan proposal yang diajukan PM May sehingga memutuskan mengundurkan diri. Raab bahkan menyoroti 39 miliar poundsterling sebagai bagian pisah Inggris-Uni Eropa perlu dibarengi perjanjian dagang.

"Saya tak dapat mendukung proposal perjanjian dengam UE," kata Raab yang kerap menyoroti uang pisah 39 miliar poundsterling tersebut. 

Sebenarnya, Uni Eropa telah memberi tambahan waktu bagi Inggris menyelesaikan persoalannya. Dalam pertemuan UE dengan May, Presiden Dewan Eropa Donald Tusk menyatakan UE sepakat memberi waktu perpanjanhan hingga 31 Oktober agar Inggris dapat mempersiapkan kesepakatan lebih panjang.  "Tolong jangan buang waktu lagi," kata Tusk.

(Baca: Mendag Sebut Brexit dan Perang Dagang Ganggu Stabilitas Ekonomi Dunia)

Perdebatan Panjang Brexit di Inggris

Keanggotaan Inggris di Uni Eropa sebenarnya sudah menjadi perdebatan di negaranya sendiri selama beberapa dekade. Pendukung Inggris tetap di Uni Eropa beranggapan Negeri Ratu Elizabeth itu akan semakin kuat, jika terus bergabung di UE. Sebaliknya, kubu yang skeptis berpendapat keberadaan Inggris di UE melemahkan kedaulatannya sendiri. 

Salah satu yang menjadi sasaran kubu pro Brexit adalah maraknya tenaga kerja dan imigran yang dianggap mengambil lahan pekerjaan masyarakat lokal. Mereka beralasan anggaran negara lebih baik dialokasikan untuk keperluan dalam negeri, bukan Uni Eropa.

"Berada di luar (UE), berarti kami akan mengembalikan kontrol, anggota parlemen yang akan membuat peraturan dan bukan beberapa orang di Brussels (markas Uni Eropa)," kata politisi sayap kanan Inggris Nigel Farage tahun 2016.

Farage beranggapan Uni Eropa merupakan ide usang yang tidak sejalan dengan globalisasi. Salah satu contohnya, krisis dan resesi ekonomi zona Euro yang malah menular dari dan ke negara-negara anggotanya. Kenggotaan di Uni Eropa dianggap telah menghambat kemajuan ekonomi Inggris.

PM Inggris saat referendum, David Cameron juga menjanjikan status Inggris di Uni Eropa akan dibahas apabila Partai Konservatif memenangi pemilihan tahun 2015. Walhasil Akta Rreferendum Uni Eropa  akhirnya mulai dibahas setelah Partai Konservatif memenangkan kursi parlemen mayoritas.

Cameron merupakan sosok pro bertahan di Uni Eropa. Namun banyak anggota Partai Konservatif merupakan pendukung brexit, salah satunya Boris Johnson, kawan almamaternya di Universitas Oxford. Boris sempat menjadi Walikota London, sebelum menjadi Menteri Luar Negeri era May. 

Referendum kemudian berjalan dan dimenangkan kubu yang ingin hengkang, dengan mayoritas suara di daerah sub-urban dan pedesaan. Seperti May, Cameron juga menyatakan pengunduran diri dengan alasan Inggris perlu kepala pemerintahan yang mendukung proses Brexit.

"Keinginan masyarakat Inggris adalah instruksi yang harus dijalankan," kata Cameron saat itu. Cameron lantas digantikan May yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.

Usai May mundur, beberapa politisi mulai menunjukkan minat menduduki jabatan di Downing Street Nomor 10 itu. Selain Boris Johnson, dan Raab, ada pula Menteri Lingkungan Hidup Michael Gove. Meski demikian, Gove berharap Inggris dapat keluar pada Oktober nanti dengan kesepakatan. "Lebih baik untuk semua apabila kami menyepakati perjanjian," kata Gove dikutip Reuters.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...