Harga Masker Mahal, Regulasi Dagang dan Persaingan Tidak Sehat
Masalah kelangkaan dan tingginya harga masker di pasaran menimbulkan kecurigaan akan adanya kecurangan. Bagaimanapun, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum menemukan indikasi kecurangan pada produsen dan distributor skala besar.
Komisioner KPPU Guntur Saragih menyatakan, saat ini hanya ada 28 produsen, 55 distributor dan 22 importir masker yang terdaftar di Kementerian Kesehatan. KPPU telah memeriksa mereka dan mendapati bahwa di lever atas, masker masih dijual dengan harga standar.
"Kami lihat tidak ada kenaikan harga yang signifikan,” kata Guntur di Kantor KPPU, Jakarta Pusat, Selasa (3/3).
(Baca: Dunia Mulai Pulih dari Serangan Virus Corona)
Menurut dia, ada ancaman pidana dalam Undang-Undang nomor 5 tahun1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tak Sehat bagi produsen dan distributor yang menaikkan harga masker secara berlebih, terutama di tengah wabah Corona COVID-19. Bagaimanapun, Guntur mengakui bahwa regulasi ini tidak mengikat pengusaha kecil.
UU nomor 5 tahun 1999 melarang praktik monopoli, monopsoni dan persekongkolan antara pelaku usaha. Selain itu, regulasi ini juga melarang kesepakatan soal harga, pembagian wilayah, kartel, hingga penyalahgunaan posisi dominan.
Pasal penimbunan
Jika jerat UU nomor 5 tahun1999 terbatas pada pengusaha besar, lalu bagaimana apparat menindak pengusaha kecil yang nakal?
Dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan disebutkan, pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan.
Pelanggaran atas ketentuan tersebut diatur dalam pasal 107 yang berisi ancaman sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun, dan/atau pidana denda maksimal Rp 50 miliar.
Masalahnya, apakah masker termasuk barang kebutuhan pokok atau barang penting? Dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 71 tahun 2015, masker tidak termasuk dalam kategori tersebut.
(Baca: Shopee dan Lazada Bakal Nonaktif Akun Penjual Masker Harga Jutaan)
Dalam Perpres yang menjadi turunan dari Undang-Undang Perdagangan tersebut disebutkan bahwa barang kebutuhan pokok meliputi:
- Hasil pertanian: beras, kedelai bahan baku tahu dan tempe, cabai, dan bawang merah;
- Hasil industri: gula, minyak goreng, dan tepung terigu;
- Hasil peternakan dan perikanan: daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar (bandeng, kembung, dan tongkol/tuna/cakalang).
- Barang Penting meliputi: benih (padi, jagung, dan kedelai); pupuk; gas elpiji 3 kilogram; triplek; semen; besi baja konstruksi; dan baja ringan.
Bagaimanapun, Pakar Hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyatakan, tafsir pasal 29 tentang penimbunan dalam Undang-Undang Perdagangan dapat diperluas. “Pada diksi ‘barang penting, menurut saya bisa lebih luas, tidak terbatas, sepanjang itu menjadi komoditas yang dibutuhkan masyarakat,” ujarnya, Rabu (4/3).
(Baca: Harga Pangan Naik, Jokowi Ingatkan Kemendag Jaga Suplai Jelang Ramadan)
Polisi pun telah menangkap dua pelaku penimbunan masker di gudang PT MJP Cargo No 88, Jalan Marsekal Surya Darma, Neglasari, Tangerang. Ada ratusan ribu masker kesehatan ilegal ditemukan menumpuk di Gudang tersebut.
"Ada dugaan tindak pidana penimbunan alat kesehatan berupa masker kesehatan atau memperdagangkan alat kesehatan berupa masker tanpa izin edar," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Iwan Kurniawan, Selasa (3/3).
Dalam gudang tersebut, polisi menemukan masker berbagai merek. Di antaranya, ada 180 karton yang berisi 360 ribu masker merek Remedi, 107 karton berisi 214.000 masker merk Volca, dan Well Best. Polisi juga menangkap 2 orang pemiliknya.