Pasokan Pangan Dunia Terguncang Covid-19, Bagaimana di Indonesia?
Pandemi Corona yang masih belum pasti kapan akan mereda, berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat. Di Inggirs, menurut data Nielsen, penduduk berumah tangga mulai menimbun makanan di pekan terakhir Februari dan terus meningkat. Penjualan pasta dan daging kalengan di Inggris meningkan 60 persen dibandingkan pekan yang sama di tahun sebelumnya.
Hal ini menyebabkan kendala stok di tingkat retail di Inggris. Melansir Financial Times, peretail di Inggris mengaku sistem stok mereka yang telah dipersiapkan untuk menghadapi kondisi tak terduga, seperti cuaca dan acara olahraga bertaraf besar tak mampu menghadapi gelombang konsumsi masyarakat di tengah Pandemi Corona.
Akibatnya beberapa bahan makanan hilang dari rak mereka. Di antaranya susu UHT dan sup kaleng. Menurut data Nielsen konsumsi susu UHT meningkat lebih dari 80% dan konsumsi sup meningkat 65% di pekan yang sama dibanding tahun lalu.
Clive Black dari Shore Capital Markets kepada Financial Times pada 20 Maret menyatakan, permintaan bahan makanan diprediksi akan terus meningkat 20-25% selama masa Corona.
Kondisi serupa terjadi di Amerika Serikat (AS) yang menurut data John Hopkins University and Medicine menjadi negara terbanyak penderita virus Corona di dunia. Melansir The New York Times, pada 21 Maret rak-rak makanan di supermarket mulai kosong akibat panic buying.
Data Nielsen atas pola konsumsi masyarakat AS selama pandemi Corona menyatakan, penjualan beras meningkat lebih dari 50% dan daging kaleng lebih dari 40%. Pesanan hot dog di Walmart dan Costco pun meningkat lebih dari 300%. Ini membuat pemasok daging menambah waktu produksi di Sabtu dan Minggu.
Organisasi Pangan dan Agrikultur PBB (FAO) menyatakan keterlambatan pasokan makanan di beberapa negara akibat kebijakan pembatasan pergerakan manusia di beberapa negara. Dampaknya kepada produksi dan distribusi.
(Baca: Setumpuk Masalah Logistik dan Pangan di Balik Darurat Corona)
Masalah Produksi
Masalah di tingkat produksi adalah berkurangnya jumlah buruh tani. Beberapa negara Eropa mengalami kesulitan mendapatkan buruh tani untuk menghadapi musim panen bulan ini.
Spanyol tak bisa mendatangkan buruh tani migran dari Maroko karena terkendala larangan bepergian dari pemerintahnya yang telah menetapkan kebijakan lockdown selama 20 hari. Dalam masa normal menurut laporan World Economic Forum, semestinya lebih kurang 16 ribu buruh tani musiman dari Maroko, kebanyakan perempuan saat ini telah tiba di Spanyol.
Padahal, menurut manajer Asosiasi Pekebun Spanyol Onubafruit Francisco Sanchez kepada Reuters, negaranya sedang menjalani masa panen blueberry sampai pertengahan Mei nanti dan membutuhkan banyak tenaga panen.
Di Italia, 200 ribu pekerja musiman dibutuhkan sampai dua bulan ke depan untuk masa panen. Namun karena kebijakan lockdown di negara itu, pekerja tak bisa didatangkan. Akibat dari hal ini adalah kualitas panen di Italia terancam menurun dan pasokan makanan segar berkurang.
Kendala lain, adalah pengangkutan pekerja dalam negeri di kedua negara tersebut dari rumah ke perkebunan. Kebijakan social distancing membuat pengangkutan pekerja secara kolektif tak mungkin dilakukan. Mengakibatkan ongkos membengkak dan jam kerja berkurang.
Menurut data Eurostat pada 2017, Spanyol adalah produsen dan pemasok buah terbesar di Eropa dengan 40,1% kapasitas produksi. Spanyol juga produsen sayuran terbesar kedua di Eropa dengan 17,3% kapasitas produksi. Sementara Italia menjadi negara produsen sayuran terbesar di Eropa dengan kapasitas 17,8%.
Melihat data tersebut, maka kendala panen di Spanyol dan Italia akan berimbas kepada pasokan makanan segar di seluruh benua biru.
(Baca: Sisi Minus Stimulus Rp405 Triliun Dalam Penanganan Virus Corona)
Distribusi Mahal
Sementara Hans Muylaert-Gelein, Direktur Manajerial Fruits Unlimited, perusahaan ekspor buah dan sayuran di Afrika Selatan, menyatakan produksi perusahaannya terkendali tapi terkendala pengiriman. Tujuan utama perusahaannya adalah Inggris.
“Semakin banyak pesawat tak terbang, jadi saya menduga akan terjadi gangguan besar,” kata Hans melansir laporan World Economic Forum. Sedangkan menurut Hans, pesawat yang masih beroperasi menetapkan biaya lebih mahal.
Hal sama disampaikan Hosea Machuki, Ketua Asosiasi Produsen Makanan Segar Kenya yang mewakili 117 pembudidaya dan eksporter. Menurutnya maskapai pesawat telah menaikkan harga tiga kali lipat menjadi US$ 3 per kilo sejak dua pekan lalu.
Membengkaknya biaya distribusi, menurut penelitian FAO, mengakibatkan negara-negara miskin susah mengakses makanan. Kemampuan daya beli mereka akan berkurang. Ditambah lagi inflasi mata uang yang mengalami kenaikan karena tersuruknya kondisi perekonomian dunia akan memperberat kondisi.
Negara yang tak memiliki lahan tanam dan mengandalkan impor untuk makanan juga akan terdampak. Semakin buruk jika yang hilang menjadi makanan pokok di negara itu. FAO memprediksi kondisi ini akan berlangsung sampai Mei.
(Baca: Nasib Suksesi Kepala Daerah di Tengah Pandemi)
Pemerintah Indonesia Mengaku Telah Antisipasi
Indonesia dalam kondisi normal masih tergolong negara dengan masalah kelaparan serius. Menurut data Global Hunger Index 2019, Indoeneisa berada di peringkat 70 dari 117 negara dengan nilai 20,1 dan masuk kategori serius. Poin ini bahkan mengalami penurunan dari tahun 20110 (24,9) dan 2005 (26,8).
Indonesia juga masih mengimpor beberapa jenis makanan pokok dari luar negeri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari 2019 menyatakan, impor beras Indonesia periode Januari-November 2018 mencapai 2,2 juta ton. Melonjak dibandingkan periode Januari-Desember 2017 yang hanya mencapai 305,75 ribu ton.
Nilai impor beras dalam periode yang sama juga mengalami peningkatan menjadi US$ 1,02 miliar dibanding sepanjang 2017 yang hanya sebesar US$ 143,65 juta. Data selengkapnya bisa disimak di Databoks berikut:
(Baca: Perbankan di Bawah Bayang-Bayang Krisis Imbas Pandemi Corona)
Volume impor jagung nasional pada 2018 juga mengalami peningkatan sebesar 42,46% menjadi 737,2 ribu ton dari 517,5 ribu ton pada 2017. Berdasar data BPS pada 2018, Indonesia paling banyak mengimpor jagung dari Argentina yakni sebanyak 238,06 ribu ton atau senilai US$ 51,56 juta.
Dengan kondisi saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar telah melemah menjadi Rp 16.450/US$, maka jumlah beras dan jagung yang bisa diimpor untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional akan berkurang. Terlebih, seperti dalam data FAO, tiga negara eksportir beras dunia (India, Vietnam dan Thailand) telah menaikkan biaya ekspor mereka.
Menanggapi kondisi ini, Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Pertanian Susiwijono menyatakan pemerintah telah melakukan langkah untuk memastikan pasokan pangan dalam negeri tetap aman. Pemerintah telah melibatkan asosiasi pengusaha untuk menjamin pasokan, seperti Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hipindo), Asosiasi Pengusaha Ritel Indnoesia (APRINDO), dan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi).
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyatakan, pihaknya pun akan memastikan stok beras aman. Ia sudah meminta jajarannya menyiapkan stok beras dan kebutuhan pangan lainnya agar tetap tersedia di masyarakat.
“Bulog akan menggunakan seluruh instrument yang ada untuk menjamin ketersediaan pangan,” kata Budi Senin (30/3) lalu. Ia pun menyatakan Bulog masih memiliki stok beras sebanyak 1,4 juta ton di gudangnya di seluruh Indonesia dan diyakini akan bertambah karena sedang memasuki masa panen.