Chatib Basri: Bank Dibayangi Kenaikan Kredit Macet Imbas Covid-19
Ekonom Senior sekaligus Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengingatkan, bahwa rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) berpotensi, meningkat terutama pada bank skala kecil di tengah pandemi virus corona atau Covid-19.
Ia berargumen, potensi kenaikan NPL perbankan, terutama bank skala kecil, bisa terjadi mengingat perbankan masih cukup gencar menyalurkan pinjaman saat pandemi corona. "Jika penyaluran kredit disediakan, ini akan berakhir dengan tingginya NPL, khususnya pada bank skala kecil," ujar Chatib dalam konferensi video di Jakarta, Senin (13/4).
Ia menjelaskan, dengan masalah NPL bank skala kecil, otomatis hal tersebut akan berdampak pada stabilitas keuangan. Di sisi lain, likuiditas perbankan, terutama likuiditas dalam bentuk dolar Amerika Serikat (AS), kemungkinan lebih ketat dalam masa krisis pandemi ini.
Meski demikian, Chatib menyarankan agar perbankan tetap menyalurkan kredit kepada perusahaan, terutama pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Sebab, jika perbankan berhenti menyalurkan kredit, banyak perusahaan akan bangkrut dan akan ada penggangguran besar-besaran.
(Baca: LPS Pantau Kondisi Sistem Keuangan RI Saat Ini Berstatus Waspada)
Maka dari itu, ia pun turut mengingatkan agar pemerintah mengambil peran dalam menekan tingginya NPL. Salah satunya melalui kebijakan restrukturisasi kredit. Kebijakan ini sejatinya telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020.
"Pemerintah harus menyediakan jaminan agar perusahaan bisa melanjutkan kinerjanya," ujarnya.
Chatib pun menjelaskan, situasi krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini sangat berbeda dibanding krisis keuangan global 12 tahun silam. Pada saat itu, dunia hanya terpukul dari sisi permintaan yang dipicu oleh subprime mortgage di AS. Sehingga, pemerintah hanya butuh menjaga daya beli masyarakat dalam mendukung perekonomian.
Sedangkan krisis pandemi Covid-19 kali ini tak bisa hanya ditangani dengan menjaga daya beli masyarakat. Alasannya, ketersediaan barang di dalam negeri saat ini turut terganggu akibat pasokan barang dari luar negeri turut kacau balau.
(Baca: Perbankan di Bawah Bayang-bayang Krisis Imbas Pandemi Corona)