Tentang Cantrang yang Kena Sindir Susi Pudjiastuti
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menambah delapan alat tangkap yang boleh digunakan nelayan, termasuk cantrang. Hal ini membuat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan sindiran melalui media sosialnya.
“Ikan sudah banyak, saatnya kapal-kapal raksasa cantrang, trawl, purseiners, dan lain-lain mengeruk kembali. Saatnya panen bibit lobster yang sudah ditunggu-tunggu Vietnam. Inilah investasi yang kita banggakan,” kicaunya melalui akun Twitter @susipudjiastuti, Rabu (10/6).
Ia khawatir penangkapan ikan yang tidak berbasis lingkungan akan merusak ekosistem laut. “Ini kapal cantrang yang gede di atas 100 GT (gross tonnage), talinya bisa enam kilometer. Sweeping dasar lautnya bisa mencapai lebih 500 hektare,” ucapnya.
(Baca: 120 Kapal Cantrang dari Jateng Siap Melaut ke Natuna)
Pro-kontra soal alat tangkap ikan ini sudah mengemuka sejak Oktober 2020. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ketika itu memutuskan untuk mengkaji penggunaan cantrang. Keputusan tersebut berbeda dengan kebijakan Susi. Namun, Edhy menyebut ada sejumlah pihak yang menilai cantrang tidak berbahaya bagi lingkungan.
Usai melakukan kajian, Kementerian pada bulan ini mengizinkan penggunaan kembali delapan alat tangkap untuk dipakai nelayan. Artinya, Keputusan Menteri Nomor 86 Tahun 2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan yang diteken Susi tidak berlaku lagi.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP Trian Yunanda pada Selasa lalu menyebut kedelapan alat tangkap yang boleh dipakai kembali itu adalah:
- Pukat cincin pelagis kecil dengan dua kapal.
- Pukat cincin pelagis besar dengan dua kapal.
- Payang.
- Cantrang.
- Pukat hela dasar udang.
- Pancing berjoran.
- Pancing cumi mekanis (squid jigging).
- Huhate mekanis.
Aturan ini, menurut Trian, tetap berlandaskan kelestarian lingkuang. Produktivitas kapal penangkap ikan akan ditinjau kembali secara periodik paling lambat setiap dua tahun. “Alat tangkap cantrang ada standar SNI yang ramah lingkungan,” ucapnya, dilansir dari Antara.
(Baca: Susi dan Edhy, Beda Menteri Beda Kebijakan)
Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Wanto Asnim mengatakan bahwa persoalan alat tangkap seperti cantrang merupakan hal yang sangat sensitif. Karena itu, harus ada kajian termasuk dari aspek sosial kemasyarakatan seperti apakah nelayan di suatu daerah bisa menyetujui penggunaan cantrang atau tidak, agar tidak menjadi konflik.
Apa Itu Cantrang?
Salah satu alat tangkap ikan yang kerap menjadi perdebatan adalah cantrang. Situs Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut cantrang merupakan alat penangkap ikan yang bersifat aktif dengan pengoperasian menyentuh dasar perairan.
Alat tangkap ini dioperasikan dengan menebar tali selambar secara melingkar, dilanjutkan dengan menurunkan jaring cantrang, kemudian kedua ujung tali selambar dipertemukan. Lalu, kedua ujung tali itu ditarik ke arah kapal sampai seluruh bagian kantong jaring terangkat.
Penggunaan tali selambar tersebut bisa mencapai panjang lebih dari satu kilometer. Kondisi itulah yang membuat sapuan lintasan talinya sangat luas. Ikan kecil maupun besar akan sangat mudah tertangkap. Penarikan jaring juga dapat menimbulkan kerusakan dasar perairan sehingga menimbulkan dampak signifikan terhadap ekosistem laut.
(Baca: Beda Kebijakan Menteri Edhy dan Susi, dari Lobster hingga Kapal Maling)
Pada kapal berukuran di atas 30 GT yang dilengkapi penyimpanan berpendingin (cold storage0, cantrang dioperasi dengan tali selambar sepanjang enam kilometer. Dengan perhitungan sederhana, jika kelilingnya 6 ribu meter, diperoleh luas daerah sapuan tali sebesar 289 hektare.
Berdasarkan hasil penelitian di Brondong-Lamongan, hanya 51% hasil tangkapan cantrang berupa ikan target. Adapun penelitian di Tegal, Jawa Tengah, menyebut cantrang hanya dapat menangkap 46% ikan target dan sisanya didominasi ikan runcah.
Ikan hasil tangkapan tersebut dimanfaatkan pabrik surimi (daging ikan yang dilumatkan hingga menjadi pasta) dengan harga maksimal Rp 5 ribu per kilogram. Sedangkan tangkapan nontarget menjadi bahan tepung ikan untuk pakan ternak.