Amnesty Desak Polisi Investigasi Kasus Penembakan di Deiyai Papua
Amnesty International Indonesia mendesak kepolisian melakukan investistigasi dugaan penembakan terhadap warga Kampung Oneibo, Kabupaten Deiyai, Papua. Seorang warga Yulianus Pigai meninggal dunia diduga ditembak aparat.
"Menyerukan suatu investigasi segera, independen, imparsial, dan efektif kepada para pihak berwenang Indonesia terhadap dugaan penggunaan kekuatan yang mematikan dan semena-mena oleh aparat kepolisian," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di Gedung HDI Hive, Menteng, Jakarta, Selasa (8/8).
Seruan yang sama juga diutarakan organisasi Imparsial, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan LBH Jakarta.
Polisi diduga menembak warga yang menyerang kamp pembangunan jembatan di sekitar Kali Oneiba, Distrik Tigi Selatan, Selasa (1/8). Massa diduga merusak peralatan perusahaan sehingga polisi menggeluarkan tembakan dan menewaskan satu orang.
(Baca: ASEAN, Uni Eropa, dan Badan Dunia Soroti Hukuman Penjara Ahok)
Investigasi diperlukan terkait penggunaan senjata oleh aparat dalam menertibkan massa. Dia mengatakan, aparat penegak hukum memang diperkenankan menggunakan kekuatan. Namun, penggunaan tersebut hanya jika benar-benar diperlukan dan dalam situasi di mana disyaratkan oleh suatu tujuan penegakan hukum yang sah.
"Mereka tidak boleh menggunakan senjata api, kecuali sebagai upaya membela diri terhadap suatu ancaman yang segera yang bisa berujug kepada kematian atau cedera serius," kata Usman.
Usman menyarankan, investigasi tersebut melibatkan Komnas HAM dan juga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal tersebut dilakukan agar investigasi dapat berjalan lebih transparan.
Divisi Pembelaan HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) R Arif Nur Fikri menuturkan, data yang disampaikan Polda Papua berbeda dengan hasil konfirmasi Kontras di lapangan.
Berdasarkan data Kontras, jumlah korban terluka mencapai 13 orang dengan satu orang tewas. Sementara dari Polda Papua menyebut korban jiwa mencapai sembilan orang dengan satu di antaranya tewas.
Kontras juga mencatat adanya unsur penggunaan peluru tajam yang mengakibatkan tewasnya Yulianus Pigai. Peluru tersebut diduga kuat berasal dari jenis senjata api SS1. Padahal, Polda Papua mengklarifikasi bahwa empat korban yang dirawat di RSUD terluka akibat peluru karet.
(Baca: Masyarakat Adat Papua Inginkan 10-20 Persen Saham Freeport)
Dalam insiden tersebut diduga ada unsur pelanggaran atas Pasal 3 huruf b dan c Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Arif juga menduga ada unsur pelanggaran Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 45-49.
"Penembakan dari olah TKP berjarak 15 meter dari korban dan kerumunan. Penembakan tidak didahului dengan tembakan peringatan ke udara, namun langsung menyasar kepada kerumunan," ucap Arif.
Selama ini, Usman menilai akuntabilitas kepolisian sulit tercapai karena minimnya mekanisme pengawasan yang independen, efektif, dan imparsial. Investigasi terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisian di Indonesia dan upaya membawa mereka yang bertanggung jawab ke muka keadilan sangat jarang terjadi.
"Kebanyakan hanya lewat mekanisme disiplin internal yang kemudian meninggalkan banyak korban tanpa akses atas keadilan dan reparasi," tutur Usman.
Temuan investigasi juga diminta dipublikasikan. Usman pun mendesak pemerintah memberikan reparasi yang memadai kepada para korban.
"Para pihak berwenang harus memastikan bahwa para korban pelanggaran HAM semacam itu dan keluarganya mendapatkan reparasi yang efektif dan penuh, termasuk kompensasi," katanya.