Kerajinan Tangan Identitas Masyarakat Adat
Membuat kerajinan tangan menjadi salah satu tradisi yang terus dilestarikan oleh masyarakat adat. Kerajinan tangan masyarakat adat di setiap wilayah bervariasi, seperti kerajinan tenun, berbagai macam gelang, hingga anyaman. Selain menjadi identitas, kerajinan tangan juga dapat menghidupi mereka.
Produk kerajinan tangan khas Baduy menjadi salah satu karya masyarakat adat yang kini dikenal secara nasional. Omzetnya pun mencapai belasan juta rupiah per bulan. Kesuksesan tersebut tak lepas dari kiprah Narman, pemuda Baduy Luar, yang memasarkan kerajinan melalui berbagai platform digital.
Kerajinan khas daerah Baduy Luar yang diberi nama Baduy Craft meliputi kain dan selendang tenun, tas koja dari kulit kayu, gelang handam dari rotan, serta aksesoris lainnya. Narman menyebutkan, 30 persen bahan kerajinan tersedia di wilayah Baduy, sedangkan sisanya dipasok dari luar wilayah adat.
Baduy Craft di berbagai media sosial dan marketplace dibandrol dengan harga Rp 5 ribu hingga Rp 600 ribu per itemnya. Narman juga mengenalkan produknya di berbagai pameran kebudayaan di Jabodetabek. “Untuk omzet per bulan tahun lalu rata-rata 15 hingga 16 juta rupiah. Produk kerajinan Baduy ini juga menyediakan pesanan dalam jumlah banyak untuk acara – acara bernuansa budaya”, kata Narman.
Narman menceritakan sulitnya memasarkan produk pada Katadata (Rabu, 17/6). “Akses internet di sini masih susah. Saya harus jalan kaki setiap hari ke luar wilayah Baduy untuk dapat akses internet,” ujarnya.
Selain itu, tetua adat sempat melarang Narman memasarkan produk kerajinannya menggunakan platform digital. Di Baduy ada norma adat yang melarang menggunakan sesuatu yang bersifat modern. Termasuk gadget dan internet karena dikhawatirkan akan merusak tatanan adat. “Saya meyakinkan tetua adat bahwa yang saya lakukan melalui Baduy Craft dapat bermanfaat bagi masyarakat Baduy Luar,” jelas Narman.
Saat ini, Narman bekerja sama dengan 25 pengrajin Baduy Luar yang terus diedukasi agar produk yang dihasilkan berkualitas tinggi dan sesuai dengan selera konsumen. Dalam mengembangkan Baduy Craft, ia menawarkan untuk memasarkan barang yang telah diproduksi pengrajin ke berbagai marketplace.
“Saya mengambil barang dari pengrajin dan menawarkan untuk dipasarkan secara online. Di sini kami menerapkan sistem bagi hasil dengan para pengrajin yang sudah memproduksi. Para pengrajin bekerja secara individu, saya yang memasarkan.”
Tradisi Menganyam di tengah Ekspansi Pertambangan
Sama seperti di Baduy, tradisi membuat kerajinan tangan juga menghidupi masyarakat adat Dayak. Salah satunya adalah tradisi menganyam yang dapat dijumpai di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Umumnya kerajinan anyaman khas masyarakat adat Dayak berbahan dasar rotan dan pandan duri. Dari rotan dan pandan duri kemudian dikembangkan jadi peralatan rumah tangga, perhiasan, alat pendukung pertanian, hingga alat yang biasa digunakan nelayan seperti penangkap ikan, wadah ikan, dan wadah hasil panen.
Komunitas adat Haringen di Barito Timur, Kalimantan Tengah juga menganyam. Produk anyaman berfungsi dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti tikar dan lanjung atau bakul dari rotan. Selain itu, produk anyaman juga digunakan dalam berbaga acara pernikahan maupun pemakaman di Haringen. Untuk memenuhi permintaan konsumen, kini para pengrajin anyaman di Haringen turut memproduksi tas, topi, dan produk lainnya.
Anyaman khas masyarakat adat Haringen memiliki keunikan pada motifnya. Setiap motif anyaman berhubungan erat dengan leluhur, spiritualitas, serta filosofi alam sekitar. Di antaranya, motif matakuna dengan filosofi agar masyarakat adat selalu memandang jauh ke depan tentang baik buruknya tindakan yang dilakukan. Motif lainnya, tangkaimunau atau motif buah – buahan yang keberadaannya di zaman dahulu berlimpah dan sempat menghidupi warga Haringen.
Semenjak adanya ekspansi masif perkebunan sawit hingga pertambangan batu bara pada tahun 1990an di Kalimantan Tengah, kawasan hutan termasuk di wilayah adat beralih fungsi. Dilansir dari Mongabay, sepanjang tahun 1999 hingga 2009 luasan perkebunan bertambah sekitar 13 persen per tahun. Selain menimbulkan kerusakan lingkungan, adanya pertambangan maupun perkebunan sawit di wilayah adat juga mempengaruhi kehidupan dan tradisi masyarakat adat yang terdampak.
Lilis, salah satu pengrajin di Barito Timur bercerita bahwa di daerahnya, Haringen, mulai kekurangan sumber bahan baku anyaman sejak adanya perkebunan sawit maupun pertambangan. “Rotan yang dulu siap panen sekarang lahannya jadi habis karena ada perkebunan sawit, sehingga kami harus membeli bahan baku dari luar untuk mencukupi produksi anyaman,” ujar Lilis.
Selain itu, Lilis juga pernah menghadapi kendala pemasaran produk anyaman sehingga banyak produk anyaman menumpuk dan tak terjual, mengakibatkan masyarakat adat enggan memproduksi anyaman dalam jumlah besar.
Hal tersebut disebabkan belum adanya jangkauan pemasaran yang luas sehingga para pengrajin hanya menjual produk anyaman di sekitar wilayah adat saja. Namun, setelah bergabung dengan Gerai Nusantara, bagian dari Koperasi AMAN Mandiri, produk anyaman mereka kini dapat dipasarkan di berbagai pameran kebudayaan Tanah Air.
“Sebelum ikut Gerai Nusantara, produk kami belum dikenal. Sekarang setelah bergabung di Gerai Nusantara, anyaman Haringen mulai dikenal masyarakat diluar wilayah adat kami,” ungkap Lilis.
Meski menghadapi berbagai kendala, Lilis tak pernah menyerah dalam memperjuangkan tradisi menganyam di Haringen. Guna melestarikan tradisi ini, ia memberikan pelajaran menganyam di berbagai sekolah sekitar wilayah adat Haringen agar kelak menganyam dapat diteruskan oleh generasi muda.
Tak hanya itu, Lilis juga berharap bahwa upayanya mempertahankan tradisi menganyam bisa menyadarkan masyarakat adat akan tata kelola wilayahnya. “Tradisi ini diharapkan bisa memulihkan ingatan mengenai potensi anyaman sehingga mengubah pola pikir masyarakat adat yang tergiur beralih pekerjaan untuk mengelola wilayahnya,” ujar Lilis.