Jalan Terjalan Menuju Kampung Adat Suku Moi Sorong Papua
Alunan musik rege mix hip-hop khas daerah timur menemani perjalanan dari Kota Sorong menuju Distrik Segun, Papua Barat. Minggu kemarin, 19 September 2021, rombongan dari berbagai elemen itu berangkat pukul 09:00 WIT menggunakan dua mobil off road.
Kafilah ini terdiri dari perwakilan lembaga swadaya masyarakat, pemuda setempat, beberapa wartawan nasional maupun lokal. Tujuan utamanya untuk menijau distrik-distrik di ujung Kabupaten Sorong yang ternacam hutan adatnya dari perusahaan sawit dan tindakan pembalakan hutan yang kerap terjadi.
Beberapa waktu lalu, Bupati Teluk Bintuni mencabut dua izin lokasi perkebunan kelapa sawit milik PT Bintuni Sawit Makmur dan PT HCW Papua Plantation. Sementara Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Fakfak mencabut masing-masing satu izin yakni PT Menara Wasior dan PT Rimbun Sawit Papua.
Adapun di Kabupaten Sorong Selatan ada empat perusahaan yang izinnya ditarik, yakni PT Internusa Jaya Sejahtera, PT Anugerah Sakti Internusa, PT Persada Utama Agromulia, dan PT Varia Mitra Andalan. Bupati Kabupaten Sorong juga mencabut empat izin lokasi perusahaan milik PT Inti Kebun Lestari, PT Cipta Papua Plantation, PT Papua Lestari Abadi, dan PT Sorong Agro Sawitindo.
Namun, kebijakan pemerintah daerah ini mendapat perlawanan dari perusahaan, terutama di Kabupaten Sorong. Mereka yang menggugat ke pengadilan yakni Inti Kebun Lestari, Papua Lestari Abadi, dan Sorong Agro Sawitindo.
Kembali ke perjalanan Ahad kemarin, semula lancar tak ada halangan di lintasan kota minyak ini. Setelah melewati eskavator yang diparkir memalang, mobil mulai bergoyang seiring jalan yang hancur akibat derasnya curah hujan. Banyakanya truk-truk bermuatan sawit, kayu, dan hasil hutan lainnya yang melintas memicu sarana infrastruktur ini berantakan.
Sambil tertawa dan menghempas asap rokok, Pilemon Magablo, salah satu pemuda Suku Moi yang memberi petunjuk jalan menuju Segun itu berkata, “Ah, ini jalan biasa, tak parah toh.” Seolah, jalan rusak dipenuhi lumpur dengan jejak bekas lintasan ban truk-truk besar bukan masalah besar.
Jalan rusak seperti ini memang menjadi makanan sehari-hari masyarakat daerah di Papua Barat, terutama di wilayah Kabupaten Sorong. Mungkin hanya butuh waktu satu ada dua jam saja menuju pangkalan perahu di Modan jika jalan-jalan sudah diaspal. Modan adalah desa terakhir jalan akses menuju Kampung Adat Segun.
Di KM 17, jalan penuh lumpur menjadi titik terparah. “Kalau hujan deras, bisa-bisa kita bermalam di sini, menunggu jalan kering,” ujar Limon sapaan akrab mahasiswa semester empat Universitas Cendrawasih itu.
Setelah satu jam melintasi jalan menurun-mendaki serta berlumpur, kami tiba di Pangkalan perahu di Modan. Di sana tak terlalu banyak aktivitas kecuali orang-orang yang ingin menuju distrik-distrik Suku Moi di wilayah perairan. Selepas makan siang, tim bergegas mengangkut barang-barang mulai dari tas dan boks berisi logistik untuk bermalam di wilayah kampung adat.
Tak lama memuat barang-barang, Fitra, anak muda keturunan Jawa yang lahir di Sorong tancap gas perahunya untuk menyebrangi perairan di Kawasan Hutan Adat Suku Moi. Belum lama melaju, kami disambut anak buaya yang bertengger di ranting pohon yang mengambang di atas permukaan air.
Tak biasa dengan pemandangan tersebut, seketika suasana yang awalnya ramai penuh dengan candaan sesaat menjadi sepi. Wilayah ini merupakan habitat buaya mauara yang menjadi satu-satunya akses mencapai distrik yang dihuni 280 jiwa itu. Warna air yang cokelat membuat tak satupun dari kami berani mengeluarkan tangan keluar badan perahu.
Untuk mencairkan suasana, salah satu jurnalis dan tim EconNusa mebuka obrolan, hingga tak sadar berapa tikungan yang sudah dilewati dengan manufer cepat dari kapten perahu. Pada satu titik ranting kayu tersangkut ke baling-balik hingga mesin perahu mati.
Dengan cekataan, Fitra berhasil menyalakan mesin dan menancapkan gas kembali. Sepanjang perjalanan air itu membujur hutan bakau. Sekitar tiga perahu ini tiba di Distrik Segun, tepat pukul 15:15. Di sinilah salah satu hutan sawit dalam konsesi PT Sorong Agro Sawitindo.
Dua tahun terakhir, Provinsi Papua Barat dengan dukungan dari Komisi Pemberantasan Korupsi mengevaluasi tata kelola perizinan perkebunan kelapa sawit secara intensif. Evaluasi dilakukan sejak Juli 2018 dengan berlandaskan tiga kebijakan, yaitu Deklarasi Manokwari, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit, dan Rencana Aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam KPK.