Exxon Hengkang, Pengembangan Blok East Natuna Berpotensi Gagal
Mundurnya ExxonMobil dari konsorsium bisa berdampak pada gagalnya pengembangan Blok East Natuna. Padahal blok ini cukup strategis karena berada di kawasan Laut Cina Selatan yang saat ini menjadi sengketa antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Penasihat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan dengan keluarnya perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asal Amerika Serikat ini membuat pengembangan Blok East Natuna makin tidak pasti. “Berpotensi untuk gagal dikembangkan,” kata dia kepada Katadata, Rabu (19/7).
(Baca: Jonan: Exxon Tak Lanjutkan Investasi di Blok East Natuna)
Tidak adanya Exxon dalam konsorsium juga berdampak kepada kondisi geopolitik. Pemerintah mesti lebih menyeimbangkan posisinya dengan negara yang berkaitan dengan wilayah Natuna, khususnya Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Agar blok itu bisa dikembangkan, menurut Pri, para menteri harus bisa menciptakan iklim investasi yang menarik, sesuai dengan visi Presiden Joko Widodo. “Jangan semakin membuat sektor hulu migas makin tidak menarik, sulit berinvestasi dan melakukan bisnis makin tidak pasti,” ujar dia.
Sementara itu, praktisi migas Gamil Abdullah mengatakan pengembangan kawasan East Natuna jangan hanya berdasarkan perhitungan keekonomian, tapi juga perspektif kepentingan nasional. Apalagi kawasan Natuna sangat dekat dengan Laut Cina Selatan yang rentan gejolak dan saling klaim garis batas perairan oleh negara sekitarnya.
Dengan adanya ExxonMobil yang merupakan perusahaan Amerika Serikat di sekitar Laut Cina Selatan, sebenarnya bisa membuat Tiongkok tidak terlalu arogan mengklaim wilayah Natuna. Namun, hengkangnya membuat cara lain mengamankan kepentingan nasional. “Bagaimana mitigasinya jika tidak ada ‘kehadiran’ AS di East Natuna,” ujar Gamil.
(Baca: Bahas Nasib East Natuna, Kementerian ESDM Akan Panggil Konsorsium)
Menurut Gamil, East Natuna juga tetap harus segera dikembangkan. Alasannya berbagai aktivitas ekonomi dan pembangunan di daerah terpencil sangat penting bagi kedaulatan sebuah negara.
Setelah kepergian Exxon, PT Pertamina (Persero) sebagai pemimpin konsorsium juga harus mengevaluasi kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, terutama dari sisi finansial. Ini untuk mempertimbangkan mencari mitra baru atau tetap dengan yang ada saat ini.
Gamil juga menyoroti sikap ExxonMobil yang tidak ingin berinvestasi di Blok East Natuna, tapi hanya mendukung teknologinya. Atas keputusan tersebut, perusahaan asal Amerika ini dianggap hanya ingin berjualan produk teknologi miliknya.
Saat ini mereka memang mengembangkan ExxonMobil Upstream Technology Center (EMUTC). Teknologi ini dapat memisahkan kadar karbon dioksida (CO2) dari gas alam.
(Baca: Pemerintah Siapkan Teknologi Khusus Pengembangan Blok East Natuna)
Dengan hanya jualan teknologi ini, Exxon tidak akan terpapar risiko investasi jangka panjang. Di sisi lain, mereka bisa mendapatkan uang dari penjualan itu, Apalagi harga teknologi tersebut akan mahal karena masih langka. “Begitu produknya ada yang membeli, dia langsung memperoleh pembayaran,” ujar Gamil.