Pengusaha Pertashop Keluhkan Selisih Harga BBM Tinggi Bikin Rugi
Pelaku usaha Pertamina Shop alias Pertashop mengeluhkan kondisi penurunan kinerja bisnis dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini dianggap imbas maraknya penjual Pertalite eceran, sekaligus adanya disparitas harga jual Pertamax dan Pertalite yang mencapai Rp 2.500 - Rp 2.800 per liter.
Mereka menilai besaran investasi pembangunan Pertashop yang mencapai Rp 570 juta tak sebanding dengan pendapatan bersih rata-rata pelaku usaha senilai Rp 1,2 juta per bulan.
Ketua Umum Himpunan Pertashop Merah Putih Indonesia atau HPMPI, Steven, mengatakan sebanyak 201 dari 518 pelaku usaha Pertashop yang terhimpun di HPMI merugi dan 66 terpaksa gulung tikar.
Steven menjalaskan, anggota HPMI rata-rata dapat menjual 200 liter Pertamax per hari atau 6.000 liter bulan. Dengan harga jual Rp 12.400 per liter, pelaku usaha dapat memperoleh laba kotor Rp 5,1 juta dari hasil margin perjualan Pertamax senilai Rp 850 per liter.
Dari omzet Rp 5,1 juta tersebut, pelaku usaha hanya menerima laba sejumlah Rp 1,2 juta per bulan setelah terpotong biaya operasional bulanan seperti upah operator, pajak reklamet, sewa tempat, hingga biaya listrik dan air.
Atas kondisi tersebut, HPMPI berharap disparitas harga BBM Pertamax dan Pertalite dipatok maksimal Rp 1.500 per liter untuk semua wilayah di Indonesia.
"Dari nilai investasi hampir Rp 600 juta, kami cuma punya keuntungan bersih Rp 1,2 juta. Untuk balik modal saja tidak bisa dan untuk beli minyak lagi tidak sanggup," kata Steven di Gedung Nusantara I DPR Jakarta pada Senin (10/7).
Dia melanjutkan, pelaku usaha mampu menjual rata-rata 34.000 liter Pertamax saat harga BBM beroktan 92 tersebut masih berada di harga Rp 9.000 per liter pada kuartal I 2022. Volume penjualan merosot ke angka 24.000 liter saat harga Pertamax mencapai Rp 12.500 per liter pada pertengahan tahun 2022.
Kondisi tersebut kembali anjlok saat harga Pertamax berada di angka Rp 13.300 pada Januari- Maret 2023 dengan realisasi total penjualan 14.000 liter.
Kondisi disparitas harga yang merugikan pelaku usaha Pertashop diperparah dengan fenomena penjualan eceran BBM bersubsidi Pertalite secara bebas melalui skema Pertamini.
Menurut Steven, praktik penjualan eceran Pertalite melalui Pertamini merupakan tindakan ilegal yang melanggar sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2021 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) dan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Lebih lanjut, kata Steven, pengecer Pertamini ilegal yang mendapatkan margin dan untung lebih besar tidak membayar kewajiban resmi seperti pajak layaknya penyalur legal Pertashop. Di sisi lain, Pertashop yang memperoleh margin dan keuntungan lebih rendah wajib untuk menbayar pajak dan pungutan legal.
"Aturannya sudah ada kenapa tidak ditegakkan? Sedangkan saat ini posisi kami sebagai yang legal punya omset yang lebih rendah dengan pengusaha yang mungkin izinnya tidak ada," kata Steven.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi VII DPR, Dony Maryadi Oekon, mengatakan bahwa praktik penjualan Pertalite melalui pengecer ilegal Pertamini harus dihilangkan.
Menurutnya, keberadaan Pertamini mengancam iklim bisnis usaha Pertashop sebagai mitra dagang Pertamina dalam penjualan BBM non subsidi Pertamax. Apalagi Pertashop merupakan program pemerintah.
Oekon meminta pemerintah melalui BPH Migas untuk melaksanakan penertiban yang masif terhadap keberadaan Pertamini dan penjual Pertalite eceran.
"Kalau Pertamini dan pengecer ada, Pertashop tidak akan jalan. Dia yang mengambil untung besar, ini yang menjalankan program pemerintah dikasih margin kecil kalang kabut akhirnya," ujar Oekon di lokasi yang sama.