Eksploitasi Panas Bumi Sumbang Rp 2,42 T ke Kas Negara 2023, Naik 6%
Pendapatan negara dari sektor pemanfaatan panas bumi diproyeksi mencapai Rp 2,42 triliun sepanjang 2023, atau tumbuh 6% dibanding realisasi pada 2022.
Pertumbuhan itu dipicu tambahan setoran bagian pemerintah atau SBP dari penjualan listrik pembangkit panas bumi Wayang Windu Bandung Unit I periode Juli 2022 sampai Januari 2023.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2024, pendapatan negara dari sektor panas bumi diperkirakan mencapai Rp 2,17 triliun, turun 10,4% dibandingkan prospek tahun 2023.
Melansir Nota Keuangan RAPBN 2024, pendapatan negara dari eksploitasi panas bumi periode 2019–2022 tumbuh rata-rata 0,8%, dengan kemajuan tertinggi terjadi pada tahun 2022 sebesar 18,6%.
Progres tersebut didukung oleh peningkatan pendapatan dari panas bumi atas tindak lanjut hasil audit BPKP terhadap pengusaha energi panas bumi untuk tahun buku 2017-2018.
Selain itu, adanya pembayaran iuran produksi dari wilayah kerja panas bumi (WKP) Supreme Energy Rantau Dedap, serta penambahan kapasitas WKP Sorik Merapi Geothermal Power.
Pemerintah Susun Pedoman TKDN
Untuk mengerek pemerimaan negara dari energi panas bumi, pemerintah mengambil sejumlah kebijakan berupa penyempurnaan regulasi. Antara lain, revisi regulasi teknis peraturan Menteri ESDM, penyusunan pedoman tingkat komponen dalam negeri (TKDN), penyederhanaan perizinan, serta sinkronisasi di sektor kehutanan atau konservasi area bersama Pemerintah Daerah (Pemda).
Unsur TKDN belakangan menjadi sorotan PT PLN karena membuat investasi asing tak tertarik dengan pembangunan pembangkit energi terbarukan di dalam negeri.
Penggunaan barang atau jasa yang bersumber dari dalam negeri dinilai kurang sesuai dengan pedoman pengadaan lembaga keuangan internasional yang mengucurkan kredit.
Sebelumnya, EVP Aneka Energi Baru Terbarukan PLN Zainal Arifin menyebutkan rencana pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Hululais, Bengkulu, terhambat karena alasan tersebut.
Dalam proyek itu, PLN telah menggenggam komitmen kucuran dana dari Japan International Cooperation Agency (JICA).
Namun, JICA tak melanjutkan realisasi kredit karena kewajiban TKDN yang tak sesuai dengan pedoman pengadaan perusahaan.
"JICA tak bisa teruskan atau approve pendanaan karena local content tak sesuai dengan guideline mereka," kata Arifin dalam diskusi bertajuk 'Bagaimana strategi Indonesia mencapai target bauran 23% energi terbarukan pada tahun 2025?' pada Kamis (27/7).
Kejadian serupa juga terjadi pada pengembangan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Cisokan berkapasitas 1.040 MW yang berada di perbatasan Kabupaten Bandung dan Cianjur, Jawa Barat.
International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang merupakan bagian dari World Bank Group awalnya bersedia membiayai proyek dengan pendanaan US$ 380 juta.
Menurut Arifin, mayoritas lembaga keuangan global seperti Asian Development Bank, Worldbank, JICA hingga bank pembangunan dan investasi Jerman KfW Bankengruppe menganggap unsur TKDN tidak selaras dengan batas minimal yang ditetapkan oleh masing-masing bank.
Kondisi yang berkepanjangan menimbulkan kekhawatiran soal pendanaan proyek energi baru dan terbarukan (EBT) di dalam negeri.
"Karena EBT ini besar dan butuh dana, kami hitung hingga 2030 ada US$ 31 miliar. Tidak mungkin ditopang pendanaan domestik," kata Arifin