Perbanas: Revisi DHE SDA Potensi Genjot Kredit Valas, Implementasi Masih Dikaji
Perhimpunan Bank Nasional atau Perbanas menyatakan revisi Peraturan Pemerintah terkait Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam atau DHE SDA akan mendongkrak kredit berdenominasi valas. Namun asosiasi mengaku masih mengkaji kebijakan tersebut dengan regulator agar implementasi DHE SDA tidak berdampak sistemik di bank.
Seperti diketahui, RPP DHE SDA akan mewajibkan penempatan devisa hasil ekspor hanay di bank milik negara. Ketua Umum Perbanas Hery Gunardi mengatakan pihaknya masih menunggu aturan resmi pemerintah terkait DHE SDA tersebut.
"Saat ini kami belum bisa mengatakan apa-apa terkait persiapan bank milik negara terhadap penempatan DHE SDA. Namun ketentuan tersebut akan mendorong penyaluran kredit karena ada dana yang masuk," kata Heri di Jakarta Selatan, Rabu (10/12).
Berdasarkan PP No. 8 Tahun 2025 tentang DHE SDA, eksportir dapat menempatkan DHE SDA dalam denominasi valas. Kebijakan ini mewajibkan eksportir di sektor pertambangan (kecuali migas), perkebunan, kehutanan, dan perikanan untuk menempatkan 100% DHE di dalam sistem keuangan nasional selama 12 bulan.
Sekretaris Jenderal Perbanas Anika Faisal mengatakan akan selalu mendukung revisi PP DHE SDA karena memiliki tujuan baik untuk perekonomian nasional. Walau demikian, Anika menekankan pihaknya akan melakukan kajian dan diskusi dengan regulator terkait implementasi revisi PP DHE SDA.
"Kami bersama regulator akan mencari cara terbaik untuk mengimplementasikan revisi aturan DSE SDA dengan baik tanpa mengganggu risiko sistemik di bank," ujarnya.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengatakan PP DHE- SDA tidak langsung otomatis memperkuat cadangan devisa negara karena valas hasil konversi lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Meskipun begitu, Destry mengatakan kebijakan tersebut sudah memberikan dampak positif. Regulasi ini mampu menjaga keseimbangan pasar, namun tidak langsung.
Namun, tekanan eksternal tetap menjadi tantangan utama. Apalagi, dalam dua bulan terakhir, Indonesia mengalami arus keluar modal asing atau capital outflow yang cukup besar.
“Outflow begitu besar sehingga itu juga menyebabkan kita harus menggunakan cadangan devisa kita untuk melakukan intervensi,” ujar Destry.
