Kemitraan Retail Modern dan Warung Tradisional Menuai Penolakan
Kementerian Perdagangan bakal mewajibkan pedagang besar lewat Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) untuk menerapkan sistem kemitraan dengan warung-warung tradisional. Kelompok masyarakat dari Gerakan Koperasi dan Elemen Masyarakat Sipil menolak kemitraan tersebut.
Mereka menganggap kemitraan ini akan berdampak pada perpindahan uang secara besar-besaran dari pasar rakyat ke pasar modern. Dampak jangka panjangnya adalah menghilangkan keragaman produk di pasar rakyat yang disebabkan efisiensi pengadaan produk. Monopoli pasar oleh beberapa pengusaha retail besar juga dianggap melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha.
"Makin terkonsentrasinya modal di pusat, justru akan semakin memperlebar ketimpangan ekonomi," seperti dikutip dari keterangan resmi yang diperoleh Katadata, Selasa (26/9).
Gerakan Koperasi ini menganggap usaha rakyat sebagai penyangga ekonomi lokal dapat tergerus. Sehingga bisa mematikan bisnis koperasi-koperasi yang memiliki model retail sebagai bentuk ekonomi kolektif masyarakat. Mereka mendesak pemerintah menghentikan rencana kebijakan kemitraan ini. Sebaliknya, pembatasan ekspansi retail modern harus dilakukan, karena bisa mematikan pasar tradisional.
(Baca: Kemendag Bakal Wajibkan Peretail Besar Bermitra dengan UKM)
Kebijakan kemitraan memperoleh distribusi barang ke warung dianggap strategi pengusaha untuk memperoleh pasar yang luas. Revisi Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan Pasar Modern dan tradisional bakal membatasi kepemilikan retail modern. Karena 40% kepemilikan ritel modern harus dipegang oleh masyarakat selaku pewaralaba
Gerakan Koperasi dan Masyarakat Sipil mencatat ada penurunan jumlah pasar tradisional yang cukup drastis. Dari sekitar 13.450 pasar tradisional pada 2007, berkurang menjadi 9.950 pada 2011. Sebaliknya, Data Aprindo mencatat dalam rentang waktu yang sama ada kenaikan hampir 8.000 retail modern.
Gerakan Koperasi menyebutkan liberasi di seluruh sektor perekonomian dalam jangka panjang akan membuat perekonomian Indonesia rapuh. Kebijakan yang tepat diperlukan, karena struktur pelaku ekonomi didominasi pengusaha skala mikro dan kecil yang jumlahnya 59 juta dan menyerap 107 juta orang tenaga kerja, serta berkontribusi 61,41% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Mereka pun meminta pemerintah, dalam hal ini Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, menghentikan kebijakan kemitraan ini. "Negara harus hadir dengan cara-cara yang tepat, bukan sekadar populisme kebijakan yang bermata dua dan secara jangka panjang justru berbahaya bagi kemandirian dan ketahanan ekonomi nasional."
Di pihak lain, Ketua Aprindo Nicholas Roy Mandey menyebutkan ada beberapa retail besar yang sudah menjalankan sistem kemitraan dengan pengusaha kecil di daerahnya. Roy membantah skema kemitraan ini hanya akan dijadikan alat bagi pemodal besar untuk memperluas bisnisnya.
"Semangat ekspansi juga seyogyanya didukung masyarakat. Kami bisa saling mengisi karena masyarakat juga yang menerima hasilnya," ujar Roy.