Pakai Sistem Sinyal “Moving Block”, LRT Butuh Tambah Dana Rp 300 M
Pemerintah memutuskan memakai sistem moving block untuk persinyalan Light Rail Transit (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabedebek). Sistem itu membuat nilai proyek LRT membengkak Rp 300 miliar. Namun, skema pendanaannya hingga kini belum jelas.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menjelaskan, sistem persinyalan moving block dipilih karena bisa mengangkut lebih banyak penumpang. "Dengan moving block penumpangnya bisa mendekati 500 ribu per hari, sedangkan pakai fix block cuma 270 ribu per hari," kata Budi usai rapat di Kementerian Koordinator Kemaritiman, Jakarta, Rabu (12/7).
Menurut Budi, dengan sistem persinyalan moving block, jarak operasi antarkereta bisa dipangkas secara signifikan. Perbandingannya, jika menggunakan fix block waktunya bisa sampai 5 menit, penggunaan moving block hanya memakan 1 menit.
(Baca juga: Pembiayaan LRT Jabodebek Masih Dikaji, Partisipasi SMI Tentatif)
Penggunaan sistem moving block, menurut Budi, akan tetap dipegang oleh perusahaan lokal. Dia menjelaskan, siapa pun yang memenangkan lelang, urusan persinyalannya akan diarahkan kepada PT Len Industri.
"Kami ingin Len jadi perusahaan yang membangun persinyalan di Indonesia, seperti INKA untuk kereta," ungkap Budi.
Masalahnya, nilai sistem moving block lebih mahal ketimbang fix block. Menurut Budi, selisihnya mencapai Rp 200-300 miliar. Dengan demikian, ada tambahan biaya lagi pada pembangunan LRT Jabodebek dari total Rp 21,7 triliun menjadi sekitar Rp 22 triliun.
(Baca juga: Kemenkeu Kaji Skema Penjaminan Pendanaan Proyek LRT)
Setelah penambahan sistem persinyalan, dana yang dibutuhkan untuk proyek LRT menjadi sekitar Rp 22 triliun. Ia optimistis proyek ini akan berjalan lancar. "Pembangunan sudah mendekati 40 persen," kata dia.
Sementara, Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Emma Sri Martini mengatakan, pemerintah masih ekslorasi berbagai opsi pendanaan. “belum ditentukan,” kata Emma.