Darmin Dorong Standardisasi Produk Kebun untuk Kerek Harga Jual
Bisnis perkebungan nasional tengah mengalami masa-masa berat. Penyebabnya, bukan hanya akibat rendahnya permintaan seiring melemahnya ekonomi dunia, tapi juga iklim yang tidak bersahabat seiring dengan fenomena elnino dan lanina. Pemerintahmendorong standardisasi produk perkebunan untuk meningkatkan harga jualnya.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyampaikan kondisi iklim yang buruk mengakibatkan biaya produksi melonjak. Hal itu kemudian berdampak pada turunnya produksi dan produktivitas tanaman perkebunan.
“Akibat dari situasi sulit ini, maka tingkat keuntungan usaha perkebunan baik perkebunan negara maupun swasta akan cenderung turun,” kata dia saat membuka seminar dan launching Penyelenggaraan World Plantation Conferences and Exhibition (WPLACE) di kantornya, Jakarta, Kamis (2/3). (Baca juga: Walhi Tuduh Perusahaan Luhut Rebut Lahan Petani di Kalimantan Timur)
Menurut Darmin, bila situasi tersebut tidak segera diatasi, bisnis perkebunan nasional bisa semakin berat. Maka itu, ia menilai pemerintah harus berfokus mengoptimalkan produktivitas, efisiensi, dan nilai tambah komoditas perkebunan. Caranya, dengan mengembangkan riset untuk menghasilkan teknologi dan inovasi yang mendukung.
Sejauh ini, teknologi yang bisa dimanfaatkan sektor perkebunan masih terbatas, demikian juga dengan pembiayaan, pasar, sarana prasarana, serta kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM). Keterbatasan ini kemudian dimanfaatkan negara tetangga. (Baca juga: Target KUR Pertanian Rp 44 Triliun, OJK Siapkan Skema Kredit)
Darmin mencontohkan komoditas kayu manis. Menurut dia, sebanyak 70 persen pasokan kayu manis berasal dari Indonesia. Kayu manis ini diproduksi di Kerinci, Jambi, dan kemudian diekspor ke Singapura dengan harga murah. Di Singapura, kayu manis tersebut dipilah dan distandardisasi sehingga harganya meningkat menjadi tiga kali lipat.
Standardisasi semacam inilah yang ingin didorong Darmin agar petani kebun bisa meningkatkan pendapatannya. "Kayu manis dijemur biasa. Tapi di Singapura setelah dia buat standar dan merek, harga naik tiga kali lipat dari yang Indonesia jual," kata ucapnya.
Darmin pun menegaskan bahwa pemerintah memiliki anggaran untuk riset standardisasi seperti itu. Tetapi untuk bisa mencairkan subsidi itu harus dipastikan dulu bahwa pasarnya ada. "Memang ada subsidi pemerintah, tapi market harus ada. Kalau pasar tidak ada, maka tidak ada dayanya masyarakat," ujar dia.
Lebih jauh, untuk mendoorng bisnis perkebunan lokal, pemerintah juga tengah mengembangkan sinergi antara usaha kecil dan menengah (UKM) dengan perusahaan besar di sub sektor perkebunan. Sinergi itu pun diharapkan terjadi dalam aktivitas investasi industri hilir perkebunan, off-take produk hasil perkebunan, penjaminan untuk kredit peremajaan perkebunan, penyediaan fasilitas benih unggul, kemitraan sarana produksi, serta kerja sama penguatan riset dan peningkatan kapasitas SDM.