Jika Brexit Terjadi, Inggris Sulit Tembus Pasar Asia
Jika suara terbanyak menginginkan Inggris keluar atau Britain Exit (Brexit) dari Uni Eropa, negara tersebut diprediksi akan mengalami kesulitan untuk kembali menembus pasar Asia, termasuk ke Selandia Baru dan India. Negara dengan tingkat ekonomi terbesar kelima dunia ini dinilai kurang berpengalaman melakukan negosiasi.
Apalagi, mencari para negosiator bukanlah pekerjaan mudah. “Bayangkan jika Inggris harus menugaskan pejabat diplomatik maupun pegawai negerinya untuk bernegosiasi lebih dari satu atau dua perjanjian di waktu yang sama,” kata profesor bidang hukum Eropa dari University of Liverpool, Michael Dougan seperti dilansir Bloomberg, Rabu, 22 Juni 2016.
Sementara itu, profesor dari Sidney University, Mark Melatos menjelaskan, posisi tawar Inggris akan sangat buruk karena negara tersebut sulit menembus kesepakatan baru. Akibatnya, semua mitra dagang potensial Inggris akan memanfaatkan kelemahan itu. (Baca: Cemaskan Risiko Brexit, Bank Sentral Amerika Tahan Suku Bunga).
Inggris yang mulai bergabung dengan Uni Eropa 40 tahun silam memiliki hubungan perdagangan yang sangat krusial dengan Asia. Kawasan ini berkontribusi terhadap dua per tiga pertumbuhan ekonomi global. Politikus Inggris Boris Johnson mengatakan jika lepas dari Uni Eropa, maka negaranya bisa bernegosiasi terhadap kesepakatan baru dengan lebih baik. Sementara itu, Asia bisa saja mengambil keuntungan dengan adanya pakta perdagangan yang baru.
Ada beberapa keuntungan yang akan dirasakan Inggris jika meninggalkan Uni Eropa. Salah satunya, negara tersebut tidak perlu berkonsultasi dengan 28 negara anggota Uni Eropa lainnya untuk mengambil keputusan tertentu. Hal ini disampaikan Kepala Kebijakan Eropa dan Perdagangan dari Institute of Directors di London, Allie Renison.
Meski demikian, Inggris pun akan menghadapi kerugian apabila memilih keluar dari keanggotaan Uni Eropa, yaitu dalam hal populasi. Inggris memiliki 64 juta penduduk, sementara itu penduduk Uni Eropa mencapai 440 juta. Menurut Reninson, yang memperkuat posisi tawar suatu negara adalah jumlah penduduk yang dimiliki.
Yang dipertimbangkan dalam kerja sama perdagangan adalah ukuran pasar konsumen, bukan ukuran produk domestik bruto atau GDP,” kata Renison.
Renison pun mengingatkan pentingnya Inggris mempertimbangkan industri barang dan jasa. Perdagangan bilateral antara Jerman dan Cina tahun lalu mencapai volume lebih dari dua kali dari Inggris. Ia mengatakan Inggris bukan hanya membutuhkan sekedar perjanjian perdagangan. “Ini mengenai apa saja yang bisa dibeli dari Inggris,” ujar Renison.
Inggris akan menggelar referendum untuk memutuskan keluar atau tetap menjadi anggota Uni Eropa pada Kamis, 23 Juni 2016. Sederetan perusahaan mulai dari Standard Chartered Plc. hingga Jaguar Land Rover, yang selalu diuntungkan dengan kesepakatan dagang antara Uni Eropa dan Asia harus siap dengan kemungkinan adanya aturan baru.
Saat ini Inggris sangat membutuhkan Asia, lebih dari posisi Asia yang memerlukan Inggris. Asia menjadi tujuan dari 16,3 persen ekspor Inggris tahun lalu, berdasarkan data kantor statistik nasional Inggris. Namun, Inggris tidak berhasil menempati peringkat sepuluh terbesar ekspor impor dengan negara Asia manapun juga.
Dengan membeli kendaraan, obat-obatan, serta mesin pembangkit listrik, Cina berkontribusi terhadap 4,5 persen atau seperenam ekspor Inggris. Sementara itu, 9,2 persen impor Inggris juga berasal dari Cina.
Pada Oktober 2015, Presiden Cina, Xi Jinping melakukan kunjungan kenegaraan di London. Kepada Perdana Menteri Inggris David Cameron, ia mengatakan Cina berharap Inggris sebagai anggota penting di Uni Eropa, bisa lebih berperan dalam memperkuat hubungan antara Cina dan Uni Eropa.
Hubungan spesial keduanya bisa terancam jika Inggris meninggalkan Uni Eropa. “Ketergantungan Inggris terhadap Cina dalam perekonomian makin besar, sehingga Cina memiliki posisi tawar lebih tinggi dalam negosiasi perdagangan,” kata Direktur Departemen Ilmu Politik di Tsinghua University, Zhang Xiaojing.
Akses Inggris ke pasar internasional sekarang diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) atas nama Uni Eropa. Meski dipengaruhi Uni Eropa, sejumlah pembuat kebijakan Inggris menyampaikan kekhawatirannya atas sikap Cameron yang dianggap memanjakan Cina. Mereka mengatakan ribuan pekerja sektor baja Inggris kini terancam karena pasar dibanjiri baja murah dari Cina. (Baca: Banjir Baja, Amerika Peringatkan Cina Kurangi Produksi).
Di Asia, Uni Eropa memiliki perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) dengan Korea Selatan. Uni Eropa juga menjalin perjanjian tersebut dengan Singapura, tapi masih belum memasuki ratifikasi. Sementara itu, negosiasi FTA antara Uni Eropa dan Vietnam sudah diselesaikan awal tahun ini. Saat ini Uni Eropa sedang melakukan pembicaraan mengenai kerja sama perdagangan dengan puluhan negara, termasuk Jepang.
Uni Eropa pun masih menggelar diskusi mengenai kesepakatan investasi dengan Cina. Perjanjian perdagangan bebas di antara keduanya tergantung kepada langkah Uni Eropa dalam menempatkan Cina sebagai pasar ekonomi di bawah peraturan WTO.
“Apabila Inggris meninggalkan Uni Eropa, maka semua hubungan perdagangan yang sudah ada harus diatur kembali,” kata Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo dalam pidatonya di London. Hal ini harus dijalankan Inggris jika menginginkan akses yang sama seperti dalam Uni Eropa. Azevedo menilai negosiasi berlapis yang diperlukan akan menimbulkan sejumlah kerumitan.
Yang menjadi prioritas Jepang saat ini adalah melakukan kesepakatan dengan Eropa, bukan negara-negara Eropa secara spesifik. Hal ini diungkapkan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dalam kunjungannya ke London pada Mei lalu. Pembicaraan antara Jepang dan Uni Eropa sudah berlangsung sejak Maret 2013. (Baca: Pemerintah Siapkan Negosiasi Dagang dengan Uni Eropa)
Sekarang, banyak negara di Asia yang mencemaskan kelangsungan hubungan perdagangan jika Inggris tidak lagi menjadi anggota Uni Eropa. “Kami tentu saja akan melakukan analisa untuk mengetahui dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa,” kata Menteri Perdagangan India Nirmala Sitharanam. Sementara itu, Menteri Perdagangan Malaysia Mustapa Mohamed baru akan mengambil keputusan setelah referendum di Inggris selesai.
Korea Selatan akan menjadi prioritas Inggris jika keluar dari Uni Eropa. Ekspor Inggris ke negara itu naik lebih dari dua kali lipat antara tahun 2011 dan 2014, dengan nilai di atas US$ 6 miliar. Laporan ini disampaikan menteri Inggris untuk urusan Asia, Hugo Swire. Seoul dikabarkan sedang menjadi peluang mendapatkan pakta bilateral dengan Inggris.