Dari Badai Krismon Hingga Tragedi Ampera

Aria W. Yudhistira
23 Februari 2015, 14:56
Sepatu Larici
Donang Wahyu|KATADATA
Ujian bertubi-tubi sempat menggoyahkan bisnis sepatu Larici. Mulai dari badai krisis ekonomi ?98, belitan utang, hingga tragedi berdarah Ampera.

29 September 2010.

SIANG itu, selepas pukul 13.00, sebuah bentrokan berdarah tiba-tiba pecah di ruas jalan Ampera Raya, Kemang, Jakarta Selatan. Dipenuhi murka yang membara, dua kelompok saling memburu lawannya hingga ke ajal.

Mereka berteriak saling ancam, sambil menghunus pedang dan parang. Beberapa di antaranya bahkan membawa senapan api. Kericuhan dimulai dari bentrokan dua kubu di luar area Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang sedang menyidangkan kasus insiden Blowfish.

Insiden ini terjadi sekitar lima setengah bulan sebelumnya, yang dipicu oleh perkelahian antara dua kelompok suku, yaitu Ambon dan Flores, di Blowfish, sebuah klub kongkow elite di Jakarta yang bertempat di City Plaza Jl. Gatot Subroto.

Tanpa bisa dilerai, bentrokan pecah siang itu. Darah tumpah membasahi kawasan Ampera yang kering disengat matahari. Salah seorang sempat berlari menyelamatkan diri, masuk ke toko sepatu Larici, yang terletak tak jauh dari PN Jakarta Selatan.

Ia bersembunyi mengendap di bawah meja kasir dengan sangat ketakutan. Tapi sial. Sang pemburunya melihat gerakan mencurigakan di sudut  belakang ruang itu.

Sepucuk pistol ditodongkan ke arahnya. Dan?.Dor, dor, dor! Tiga kali pistol memuntahkan timah panas yang menembus tubuhnya. Masih tak puas, sebilah parang lantas merobek lehernya. Darah segar pun mengalir membasahi lantai.

?Saya melihat dengan mata kepala sendiri kejadian itu,? kata Yati, saksi hidup yang siang itu tengah melayani pembeli di toko sepatu Larici. ?Saya tak bisa berbuat apa-apa. Badan saya lemas. Yang terdengar hanya suara rintihan meminta tolong.? Karena pertolongan tak kunjung datang, si korban pun akhirnya meninggal di tempat. Dan polisi baru datang kemudian.

Semua peristiwa itu masih lekat dalam ingatan Yati. Gara-gara peristiwa ini, toko Larici yang baru pada 2007 kembali beroperasi?setelah tiga tahun vakum?lagi-lagi harus kehilangan animo para pelanggannya. ?Mereka khawatir, tempat ini tidak aman,? ujarnya.

Sejak berdiri pada awal 1990-an, boleh dibilang inilah ujian berat ketiga yang menghantam Larici. Ujian pertama terjadi pada 1997/1998 saat badai krisis ekonomi?juga dikenal dengan sebutan krisis moneter (krismon)?menghantam Asia, termasuk Indonesia.

Perekonomian nasional lumpuh. Inflasi meroket, kurs rupiah ambruk dari semula di kisaran Rp 2.500 per dolar AS hingga sempat menyentuh level Rp 17 ribu per dolar AS. Seiring dengan itu, terjadi krisis politik yang ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Indonesia tidak lagi dinilai sebagai tempat yang aman. Jumlah turis asing merosot, dan ekspatriat yang tinggal di kawasan Kemang pun banyak yang kembali ke negerinya. ?Padahal, sebelum krisis, pembeli sepatu kami kebanyakan orang asing,? kata Elli, pemilik toko Larici.

Cobaan kedua datang ketika mendiang suaminya?meninggal dua tahun lalu?salah dalam mengelola keuangan perusahaan, hingga terjerat utang, dan membuat Larici berhenti berproduksi pada sekitar 2004. ?Kalau tidak ada kejadian ini, mungkin Larici sudah jauh lebih besar dan mapan,? kata Elli.

Meski begitu, Elli bukanlah tipe perempuan yang mudah menyerah pada keadaan. Setahap demi setahap, usaha sepatu yang dirintis bersama suaminya ini kembali dihidupkannya bersama Yati, perempuan asal Trenggalek yang sudah bersamanya selama 21 tahun.

Di rumah yang sekaligus menjadi tokonya itu, tinggal juga empat karyawan yang membantunya sehari-hari memproduksi sepatu. ?Sehari, sekitar 10 pasang sepatu yang dihasilkan,? ujarnya ketika ditanya besaran skala produksinya. Kisaran harganya bervariasi, mulai dari Rp 200 ribu hingga Rp 700 ribu.

Elli sejatinya memiliki latar belakang pendidikan di bidang perbankan, yang digelutinya saat kuliah di UPN Pondok Labu. Namun, bisnis sepatu tampaknya sudah menjadi pilihan hidup yang akan terus digelutinya.

Anaknya yang kini kuliah di Universitas Indonesia pun mulai menaruh minat untuk semakin mengembangkan bisnis Larici.  ?Sayang kalau tidak ada yang meneruskan,? ujarnya. ?Apalagi, sudah ada pelanggan tetap, seperti kelompok marching band yang selalu memesan sepatu boots-nya ke sini.?

Bisnis Sepatu UKM (Bagian 1) : Sepatu Kulit Made in Ampera

Reporter: Metta Dharmasaputra
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...