Dilema Industri Penerbangan
KATADATA ? Industri penerbangan nasional mengalami masalah yang cukup serius. Beban operasional maskapai penerbangan bertambah akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Namun, industri ini tidak bisa begitu saja menaikkan harga tarif tiket penerbangannya.
Ketua Penerbangan Berjadwal Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia atau (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) Bayu Sutanto mengatakan sekitar 85 persen biaya operasional pesawat bergantung pada dolar. Salah satunya biaya bahan bakar (avtur), meski transaksinya menggunakan rupiah, tapi harga acuannya menggunakan dolar.
Bayu merinci, biaya avtur ini mencapai 45-50 persen biaya operasional penerbangan. Selebihnya, biaya perawatan dan perbaikan (maintenance) sebesar 25-30 persen, biaya asuransi 2-3 persen dan biaya lainnya.
Menguatnya kurs dolar tentunya menambah besar biaya operasional maskapai. Berbeda dengan industri lain yang bisa dengan mudah menaikkan harga produknya, maskapai penerbangan tidak bisa seenaknya menaikkan tarifnya. Hal ini karena pemerintah mengatur tarif yang diberlakukan maskapai tidak boleh melebihi tarif batas atas yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM26 Tahun 2010.
?Makanya kami minta tarif batas atas itu direvisi. Aturan itu dibuat pada 2010, dimana kursnya masih di kisaran Rp 9.000-10.000, sekarang sudah naik sampai 25 persen,? ujarnya kepada Katadata, Rabu (25/6).
Menurutnya, permintaan industri penerbangan untuk merevisi tarif batas atas ini sudah sejak tahun lalu. Mengingat pelemahan nilai tukar ini sudah terjadi sejak pertengahan tahun lalu. Namun, pemerintah sulit merealisasikannya, karena melibatkan banyak aturan lainnya yang harus direvisi.
Dengan situasi ini, pemerintah menerapkan tarif tambahan (surcharge) atau yang biasa disebut tuslah, pada Februari 2014. Masalahnya tarif surcharge saja belum cukup, karena belum bisa menutupi beban operasional yang naiknya terlalu tinggi. Makanya INACA tetap mendorong pemerintah menaikan tarif batas atas.
?Dua minggu lalu, kami mengirim surat ke Presiden dan kami juga hearing dengan DPR untuk masalah ini,? ujar Bayu.
Industri penerbangan saat ini memang mengalami masa yang sulit karena terhimpit beban operasional dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasinya. Menurut Bayu, akibat tekanan beban operasional ini, makanya banyak maskapai yang tutup.
Dalam dua tahun terakhir, sudah tiga maskapai yang tutup. Awal tahun lalu Batavia menutup operasinya, pada pertengahan tahun lalu beberapa maskapai menutup sebagian rutenya, dan pada tahun ini, Merpati dan Mandala juga tutup.
Di sisi lain perusahaan yang masih bertahan, sebagian membukukan rugi. Sepanjang kuartal I 2014, PT Garuda Indonesia Tbk melaporkan rugi bersih sebesar US$ 164 juta. Indonesia AirAsia merugi Rp 390,4 miliar, berbanding terbalik dengan keuntungan Rp 42 miliar yang didapat pada periode yang sama tahun 2013.
?Kalau kondisi ini dibiarkan, maskapai penerbangan akan tambah banyak lagi yang tutup.?
Kondisi ini menambah kelam industri penerbangan nasional. Padahal pasar penerbangan mengalami peningkatan yang sangat besar dalam beberapa tahun ini. Jumlah penumpang pesawat yang hanya 7 juta orang pada 1997, meningkat lebih dari empat kali dalam 10 tahun, mencapai 30 juta pada 2007. Tahun lalu, jumlah penumpangnya sudah mencapai 68,7 juta.