Australia Dibayangi Resesi, Ekspor RI Terancam Makin Sulit
Pertumbuhan ekonomi Australia diperkirakan masuk pada jurang resesi pada triwulan II 2020. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta Kamdani mengatakan, krisis ekonomi di Negeri Kangguru tersebut berpotensi menyebabkan penurunan kinerja perdagangan dan investasi bilateral dengan Indonsia.
Australia sebelumnya diprediksi masuk jurang resesi seiring kontraksi pertumbuhan ekonomi negara itu pada kuartal II 2020. Adapun pada kuartal I 2020, ekonomi Australia sudah tercatat minus 0,3%. Resesi ekonomi sendiri didefsinikan sebagai menurunnya pertumbuhan ekonomi sebuah negara selama dua kuartal berturut-turut dalam setahun.
"Ekspor Indonesia ke Australia bisa semakin sulit karena pasar di sana akan semakin menahan diri untuk melakukan kegiatan ekonomi," kata Shinta kepada katadata.co.id, Jumat (24/7).
Di sisi lain, para pengusaha Australia juga akan semakin gencar mendorong ekspor produknya agar perekonomian negaranta membaik.
Dengan terganggunya ekspor komoditas Indonesia, neraca perdagangan kedua negara berpotensi mengalami pelebaran defisit, Namun, hal ini bisa dihindari apabila pemerintah bisa dan pengusaha bisa lebih agresif dan memaksimalkan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia dan Australia atau IA-CEPA.
Keberadaan IA CEPA dinilai dapat mengamankan posisi Indonesia. Sebab, Australia tidak bisa menutup diri sepenuhnya dari perdagangan Indonesia.
Selain masalah perdagangan, ia juga memperkirakan resesi Australia bisa berdampak pada penundaan investasi. Namun, hal ini juga tak signifikan, mengingat investasi Negeri Kangguru hanya US$ 86 juta hingga triwulan I 2020.
"Tidak berdampak besar meskipun akan mengurangi peluang penciptaan lapangan kerja baru yang sangat kita butuhkan," ujar dia.
Lebih lanjut, Shinta juga menejelaskan resesi Australia bisa memengaruhi psikologi pasar. Namun, kondisi tersebut terjadi apabila tiba-tiba ada kebijakan luar biasa yang dikeluarkan pemerintah Australia, seperti pengetatan inspeksi perdagangan, kontrol terhadap outbound investasi, dan lainnya.
"Saat ini, pasar Australia tidak memberikan sumbangan ekonomi yang besar dari sisi perdagangan dan investasi Indonesia," ujar dia.
Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi menilai, resesi ekonomi Australia belum tentu akan menyeret Indonesia ke dalam jurang yang sama.
"Ini tergantung kinerja Indonesia pada faktor domestik," katanya.
Sebagaimana diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar ditopang oleh konsumsi rumah tangga sebesar 58,14% terhadao Produk Domestik Bruto (PDB) triwulan I 2020.
Oleh karena itu, Fithra menilai pertumbuhan ekonomi nasional masih dapat didorong dengan menggenjot konsumsi rumah tangga.
Tak hanya itu, resesi ekonomi Australia juga diprediksi hanya terjadi sementara akibat wabah virus corona. Terlebih lagi kini ada harapan kandidat vaksin virus corona dapat diproduksi pada 2021.
Berbeda dengan pengusaha, dia justru melnilai kerja sama IA-CEPA tetap berjalan secara optimal. Sebab, IA-CEPA merupakan kerja sama dalam jangka menengah panjang.
Sebagai informasi, total perdagangan barang Indonesia-Australia pada 2019 mencapai US$ 7,8 miliar. Ekspor Indonesia tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan impor sebesar US$ 5,5 miliar, sehingga Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 3,2 miliar.
Dari sepuluh besar komoditas impor Indonesia dari Australia, mayoritas merupakan bahan baku dan penolong industri, seperti gandum, batubara, bijih besi, alumunium, seng, gula mentah, serta susu dan krim. Sementara itu, perdagangan jasa Indonesia-Australia pada 2018-2019 tercatat surplus US$ 1,8 miliar.