Indeks Manufaktur Naik, Pengusaha Tekstil Belum Masuk Fase Ekspansi
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menilai momentum pemulihan belum dirasakan oleh seluruh industri manufaktur, meski Indeks Manufaktur Indonesia tercatat meningkat pada kuartal I 2021.
Pernyataan itu disampaikan Sekretaris Jenderal (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta menanggapi data Prompt Manufacturing Index (PMI) yang diterbitkan Bank Indonesia. PMI pada kuartal I 2021 tercatat sebesar 50,01% atau meningkat dari 47,29% pada kuartal sebelumnya. Menurut BI, data itu menunjukkan kinerja industri pengolahan terindikasi membaik dan memasuki fase ekspansi pada kuartal I 2021.
Berdasarkan data APSyFI, memang terdapat peningkatan utilisasi pada kuartal I 2021 dibanding kuartal IV 2020, terutama di hulu seperti serat dan benang. Hal itu tercermin dari utilisasi produksi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) pada Maret 2021 yang hampir 90% untuk polyester dan 75% untuk filament. Namun, Redma menegaskan tidak ada ekspansi di sektor tekstil, terutama di industri hilir seperti pakaian jadi.
“Memang dari sisi utilisasi mengalami peningkatan, tapi kalau secara keseluruhan kita belum masuk dalam fase ekspansi,” katanya, Jumat (16/4).
Redma menjelaskan, pada akhir Maret 2021 pasar tekstil mulai mengalami penurunan, terutama di hilir seperti tenun. Ia menyebut ada beberapa industri tenun yang kembali merumahkan karyawannya.
“Daya beli memang ada, tapi tidak sebanyak tahun-tahun kemarin,” katanya.
Menurut dia, faktor yang menyebabkan penurunan pasar tekstil adalah maraknya penjualan pakaian jadi impor melalui e-commerce. Redma mengatakan permintaan terhadap industri pakaian dalam negeri menjadi sangat kecil.
Banyaknya penjualan pakaian jadi impor secara daring (online) dengan pemasaran yang masif dan program diskon menarik dinilai merusak pasar tekstil dalam negeri.
“Dari awal April market kita sudah sepi dari hulu sampai hilir. Walaupun di hulu utilisasinya masih berjalan, namun untuk tenun dan rajutnya sudah sangat sepi,” kata Redma.
Ia juga menilai momentum Lebaran tidak bisa meningkatkan permintaan tekstil dan pakaian dalam negeri. Pasalnya, masyarakat lebih memilih membeli pakaian jadi impor secara online dibanding produk para peritel di toko offline.
Lebih lanjut, Redma berharap pemerintah dapat menekan volume impor di industri tekstil terutama pakaian jadi. Ia menyarankan agar para pemangku kepentingan memiliki satu visi yang sama, yakni pengurangan impor.
“Sebenarnya yang paling penting adalah kita dikasih pasar. Walaupun pemerintah kasih insentif fiscal, tax allowance atau tax holiday, kalau tidak punya pasar ya tidak bisa jalan,” ujar dia.