Biaya Logistik Mahal Imbas Pungutan Liar, Medan dan Makassar Tertinggi
Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menyatakan pungutan liar dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya biaya logistik nasional. Pungutan liar marak terjadi akibat aksi premanisme dan oknum aparat, khususnya di pelabuhan.
Ketua Umum ALI Mahendra Rianto mengatakan, pungutan liar marak terjadi pada kegiatan transportasi dan penanganan kontainer. Hal itu mengakibatkan kegiatan transportasi dan penanganan kontainer berkontribusi hingga 40% total biaya logistik nasional.
"Biaya Logistik yang paling besar ada di Makassar dan Medan. Biasanya dikuasai masalah premanisme yang tinggi, masih ada hal yang berkaitan dengan biaya 'komunitas'," kata Ketua Umum ALI Mahendra Rianto dalam peluncuran "Gerakan 1 Juta Kendaraan", Rabu (18/5).
Mahendra memaparkan, saat ini rata-rata biaya logistik di dalam negeri adalah 21,48% dari biaya produksi industri. Namun demikian, rata-rata biaya logistik di Makassar mencapai 24,35% sedangkan di Medan menyentuh 30,05%.
Dia mengatakan, premanisme merupakan alasan kenapa biaya logistik di dalam negeri tidak bisa lebih rendah dari negara tetangga. Menurutnya, biaya logistik nasional bahkan lebih tinggi dari Filipina yang sama-sama negara kepulauan.
Mahendra menilai praktik premanisme dapat dihilangkan jika ada kemauan dari pemerintah dan pemangku kepentingan. Namun demikian, premanisme saat ini masih sulit dihilangkan lantaran ada pihak-pihak yang diuntungkan dari kegiatan tersebut.
Dia membeberkan, sebuah truk kontainer harus mengeluarkan biaya Rp 50.000 untuk masuk ke sebuah pelabuhan dan dilayani. Jika ada 1.000 kontainer yang masuk ke pelabuhan selama setahun, nilai pungutan liar yang harus dikeluarkan industri bisa mencapai Rp 18,25 miliar.
"Itu baru Tanjung Priok, belum pelabuhan-pelabuhan lain atau jalur pantura," kata Mahendra.
Berkah Pandemi
Mahendra menilai, industri logistik nasional mendapatkan berkah dari pandemi Covid-19. Menurutnya, pandemi memaksa pelaku industri logistik untuk mengaplikasikan teknologi nirsentuh.
Alhasil, pengaplikasian teknologi di industri logistik kini lebih mudah diterima. Mahendra menilai, industri logistik nasional kini harus menerapkan skema rating seperti yang dilakukan oleh konsumen kepada pengemudi dalam jasa transportasi daring.
Maka dari itu, Mahendra menyarankan agar Kementerian Perhubungan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk penerapan teknologi tersebut. Pemangku kepentingan yang dimaksud adalah Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, hingga Kementerian Keuangan.
"Logistik (sebelumnya) selalu mengikuti perdagangan. Sekarang (perdagangannya) ke e-commerce. Logistiknya juga harus digital," kata Mahendra.
Laporan Ken Research memprediksi, tren pendapatan pasar logistik Indonesia semakin meningkat hingga 2024. Pada 2020, pendapatan logistik Indonesia US$ 220,9 miliar dan akan mencapai US$ 300,3 miliar pada 2024.