Pemerintah Gaet Singapura dan Cina demi Produksi Rumput Laut
Pemerintah bekerja sama dengan Cina dan Singapura untuk mendorong investor kedua negara menanamkan modal di proyek pengembangan rumput laut di Indonesia. Hilirisasi rumput laut menjadi salah satu proyek yang rencananya dititipkan Presiden Joko Widodo ke pemerintahan berikutnya demi mengejar target menjadi negara maju pada 2045.
Proyek hilirisasi rumput laut dinilai memiliki potensi nilai tambah yang besar bagi perekonomian mencapai US$ 11,8 miliar atau Rp 182 triliun
Juru Bicara Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi Jodi Mahardi mengatakan, terdapat tiga daerah yang potensial sebagai lokasi pengembangan rumput laut. Ketiganya yakni Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Maluku. Pemerintah saat ini telah mengirimkan tim khusus untuk belajar dari India yang dinilai cukup maju dalam produksi rumput laut.
"India sudah cukup advance dan sudah ada beberapa investor tertarik mengembangkan rumput laut," ujar Jodi ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Kamis (24/4).
Pemerintah berencana memulai proyek percontohan budidaya rumput laut senilai US$ 2 juta atau Rp 31,06 miliar pada tahun depan. Proyek percontohan tersebut akan dilakukan di wilayah pesisir seluas 50.000 hektare dan menyerap 100 orang tenaga kerja.
Jika proyek percontohan tersebut berhasil, pemerintah berencana memperluas lahan budidaya rumput laut menjadi 1,2 juta hektar dengan penyerapan tenaga kerja hingga 2.400 orang.
Jodi mengatakan, pengembangan produksi rumput laut dapat memberikan manfaat berupa pendapatan tambahan pekerja budidaya lobster. "Sambil menunggu hasil lobsternya berkembang, mereka bisa sambil melakukan budidaya rumput laut," kata dia.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves Mochammad Firman Hidayat sebelumnya menjelaska, pasar produk hilir rumput laut akan memuncak pada 2040. Beberapa pasar produk hilir yang diperkirakan memuncak pada 2040 adalah pupuk organik yang mencapai US$ 10 miliar dan plastik ramah lingkungan lebih dari US$ 40 miliar pada 2040.
"Ini belum bicara penyerapan tenaga kerja dari proses hilirisasi di pabrik. Jadi, multiplier effect dari tahapan hilirisasi rumput laut akan sangat banyak dari sisi tenaga kerja," ujarnya.
Firman menjelaskan, harga rumput laut di dalam negeri saat ini mencapai US$ 1.000 sampai US$ 2.000 per ton. Sementara itu, industri pupuk organik dapat menyerap rumput laut di harga US$ 8.000 per ton, sementara industri Karaginan & Agar hingga US$ 13.000 per ton. Karagenan & Agar adalah bahan baku bagi industri farmasi, kosmetik, dan makanan olahan.
Firman menyampaikan industri substitusi gandum perlu menyerap rumput laut seharga US$ 300 per ton agar mencapai skala ekonomi.. Rumput laut untuk industri plastik ramah lingkungan dinilai US$ 250 per ton dan biofuel senilai US$ 100 per ton.
Ia menilai nilai investasi hilirisasi rumput laut jauh lebih murah dibandingkan dengan hilirisasi nikel. Sebab, Firman mengatakan investasi untuk pengembangan 1,2 juta hektar hanya membutuhkan US$ 48 juta atau Rp 745,58 miliar.
Potensi investasi hilirisasi tambang di dalam negeri yang melibatkan 23 perusahaan mencapai US$ 30,9 miliar atau Rp 482 triliun. Artinya, investasi pengembangan industri rumput laut tidak sampai 1% dari potensi investasi hilirisasi tambang.
Firman berpendapat, pengembangan budidaya rumput laut dibutuhkan untuk menggenjot penciptaan lapangan kerja di dalam negeri. Ia pada akhirnyamenghitung pengembangan budidaya rumput laut akan mengungkit pertumbuhan ekonomi nasional lebih dari 6%.
Ia menyampaikan, rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional harus mencapai 6,6% pada 2024-2030 agar visi Indonesia Emas 2045 tercapai. Oleh karena itu, Firman menegaskan lintasan pertumbuhan ekonomi pada 5-10 tahun ke depan akan menjadi kunci realisasi visi Indonesia Emas 2045.