Pemprov Jateng Klarifikasi Data PHK Kemenaker, Mengapa Beda?
Kementerian Ketenagakerjaan menyebut Jawa Tengah sebagai provinsi dengan angka pemutusan hubungan kerja atau PHK tertinggi mencapai 14 ribu orang pada Januari-Agustus 2024. Data ini diklarifikasi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah atau Jateng, yang mencatat angka PHK hanya mencapai 8.231 pekerja.
"Berdasarkan data Disnakertrans Jateng periode Januari-Agustus 2024, dari total 8.231 kasus PHK, jumlah paling tinggi ada di Kabupaten Boyolali yang mencapai 20,19% atau 1.166 pekerja," kata Kepala Bidang Hubungan Industri Disnakertrans Jateng Ratna Dewajati pada Rabu (2/10), seperti dikutip dari Antara.
Ia menjelaskan, data yang dirilis oleh Kementerian Ketenagakerjaan kurang tepat. Menurut dia, angka PHK yang mencapai 14 ribu orang itu muncul bukan hanya jumlah pekerja yang terkena PHK, tetapi juga relokasi pabrik yang membuat pekerja ikut dipindah, seperti SAI Apparel.
"Kami sudah klarifikasi kepada pemerintah. Rencananya, Disnakertrans Jateng pada pekan depan akan ke Jakarta untuk melakukan klarifikasi data terkait PHK tersebut," ujarnya.
Meski angka tersebut diklarifikasi, Jawa Tengah masih menjadi provinsi dengan angka PHK tertinggi. Berdasarkan data pada laman Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan, angka PHK tertinggi kedua dicatatkan DKI Jakarta sebanyak 7.469 orang, disusul Banten 6.359 orang.
Adapun dari data terbaru Pemprov Jawa Tengah, Kabupaten Pekalongan menyumbangkan angka PHK terbesar kedua sebanyak 15,41% atau 1.268 pekerja, disusul Semarang 14,71% atau 1.210 pekerja.
Menurut dia, sektor tekstil dan garmen masih berkontribusi paling banyak dalam kasus PHK tersebut."Sektor paling besar kontribusi PHK adaalah tekstil dan garmen, yakni 44,77%, kemudian manufaktur 25,71%, dan lain-lain atau gabungan ada sisi perdagangan dan jasa keuangan itu 17,08%," katanya.
Ratna menilai banyaknya PHK dipengaruhi oleh kondisi geopolitik, yakni perang Rusia-Ukraina yang belum berkesudahan hingga sekarang. Kondisi geopolitik tersebut berdampak pada impor bahan baku untuk tekstil, yakni dari segi waktu pengiriman lebih lama dan biaya juga lebih tinggi.
"Hubungan yang tidak baik antara China dan Amerika juga mempengaruhi produk, orderan jadi turun, ditambah kebijakan produk impor yang membanjiri pasar Indonesia," katanya.