Ramai Peternak Buang Susu Sapi Segar: Persoalan Impor, Produksi, atau Kualitas?
Peternak sapi perah, Danu Nugroho, tidak menduga aksinya mengguyur susu ke seluruh tubuhnya pada Sabtu (9/11) di Boyolali, Jawa Tengah, menarik perhatian publik. Bercelana pendek dan berkaus singlet, ia tak ragu mandi susu bersama rekan peternak lainnya di bak mobik pikap.
Puluhan mobil pikap berisi muatan susu segar berjejer di sepanjang jalan. Sekitar 50 ribu liter atau 50 ton susu terbuang dalam aksi protes tersebut. Para peternak juga membagikan susu segar gratis kepada para warga di Simpang Lima Boyolali.
"Ini bentuk aksi keprihatinan karena sejak September 2024, susu sapi produksi kami sering ditolak industri pengolahan susu (IPS)," kata Danu, dikutip dari Antara, Senin (11/11).
Produksi susu oleh peternak sapi perah dan pengepul di Kabupaten Boyolali mencapai 140 ribu liter per hari. Serapan IPS dalam 2 bulan terakhir hanya sekitar 110 ribu liter per hari. Terdapat sisa sebanyak 30.000 liter per hari yang tak terserap pabrik.
Penolakan terjadi dengan beragam alasan sehingga peternak tidak tahu harus berbuat apa-apa. Koordinator aksi tersebut, Sriyono, menduga pembatasan terjadi karena impor susu yang tidak ada batasan. Kebutuhan susu nasional selama ini memang 80% dari impor, sisanya baru produksi nasional.
Data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Perindustrian pada 2021 menunjukkan, kebutuhan susu nasional mencapai 4,19 juta ton. Kemampuan produksi susu segar dalam negeri atau SSDN hanya 0,87 juta ton.
Di tahun berikutnya, Kemenperin mencatat, kebutuhan susu selama 6 tahun terakhir meningkat 6% per tahun, sedangkan produksi nasional hanya tumbuh 1%. Pemerintah sebenarnya memiliki Cetak Biru Persusuan Nasional 2013-2025 tapi kapasitas produksi susu sapi perah nasional dalam satu dekade tidak sesuai harapan.
Produksi susu sapi perah di Indonesia rata-rata hanya mencapai 10-12 liter per ekor per hari. Sebagai perbandingan, satu ekor sapi perah di Selandia Baru mampu menghasilkan 30-60 liter per hari.
Bukan Sekadar Persoalan Produksi
Kementerian Koperasi dan Kementerian Perdagangan sedang mengevaluasi aturan regulasi impor susu. Dalam jumpa persnya pada awal pekan ini, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengatakan pengimpor susu terbesar adalah Selandia Baru dan Australia.
"Dua negara ini memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia, yang menghapuskan bea masuk pada produk susu sehingga membuat harga produk susu mereka setidaknya 5% lebih rendah dibandingkan dengan harga pengekspor produk susu global lainnya,” ujarnya.
Akibatnya, industri pengolahan susu lebih memilih mengimpor susu bubuk (skim) daripada susu segar. Para peternak sapi perah di Indonesia rugi karena harga susu segar produksi mereka menjadi sangat rendah, yaitu hanya Rp 7.000 per liter, di bawah harga ideal Rp 9.000 per liter.
Kemenkop juga akan meminta Kementerian Perdagangan untuk meninjau kembali soal pengenaan bea masuk 0 persen terhadap produk susu impor, yang saat ini didominasi oleh Selandia Baru dan Australia.
Asosiasi Industri Pengolah Susu atau AIPS berpendapat penolakan IPS bukan persoalan produksi tapi kualitas susu sapi segar peternak lokal. Susu murni hasil peternak lokal sebenarnya sudah sesuai standar. Namun, pencemaran kerap terjadi pada mayoritas susu yang disetor ke pabrikan akibat perbuatan oknum dalam rantai pasok. Banyak susu segar akhirnya tercermar air, sirup gula, minyak nabati, karbonat, dan hidrogen peroksida.
Saat ini langkah terbaik untuk membantu produsen susu lokal adalah meningkatkan kualitasnya agar serapan di level pabrikan pun terdongkrak. "Saya sampaikan, tidak semua koperasi menambah cemaran. Jika koperasi sudah mengikuti standar prosedur operasi, hasil kualitasnya pasti sesuai standar," ujar Direktur Eksekutif AIPS Sonny Effendhi kepada Katadata.co.id, kemarin.
Pemerintah sebaiknya fokus mendorong kualitas susu segar yang diproduksi peternak sapi perah domestik alih-alih memperketat syarat impor. "Pengenaan tambahan tarif bea masuk saat ini tidak tepat, karena saat ini daya beli masyarakat masih belum baik," kata Sonny kepada Katadata.co.id, kemarin.
Kementerian Perindustrian akan mendorong koperasi produsen susu segar membeli milk collecting point. Mesin ini berfungsi sebagai rantai pendingin yang dapat menyimpan susu lebih lama dan menjaga kualitasnya.
"Dengan mesin itu, kami juga bisa memproses data susu segar yang disetor dengan teknologi digital," kata Direktur Jenderal Agro Kemenperin Putu Juli Ardika di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, kemarin.
Koperasi yang ingin membelinya dapat memakai skema investasi ulang, bermitra dengan industri pengolah susu atau IPS. Skema ini akan menempatkan industri sebagai jaminan atau collateral untuk mendapat bunga pinjaman perbankan yang lebih murah. Putu mengatakan, pemerintah juga akan memberi bantuan berupa potongan harga hingga 35%.
Dalam hitungannya, pembelian mesin milk collecting point dapat lunas dalam waktu 20 bulan. Nilai penjualan susu segar ke pabrikan dapat naik 20%. "Dari peningkatan tersebut, 50% dapat langsung dinikmati peternah, sedangkan 50% lainnya untuk membayar mesin," ucapnya.
Ia menjadwalkan pertemuan dengan para IPS terkait strategi tersebut di kantornya hari ini. "Semua IPS sudah diundang agar produksi susu olahan bisa berjalan dengan baik, terutama untuk pemenuhan bahan baku susu segar dari dalam negeri," kata Putu.