Perang Dagang AS-Cina Jadi Penyebab Gugurnya Toko Ritel di RI
Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) mengungkapkan mahalnya biaya operasional hingga perang dagang Amerika Serikat dan Cina menjadi penyebab tutupnya gerai ritel di Indonesia. Selain itu, beberapa ritel juga tidak mampu bersaing dengan pesaing yang memiliki banyak toko.
“Mungkin costing-nya besar. Misalnya tokonya cuma 10 unit. Tidak bisa bersaing sama tokonya yang banyak,” kata Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah di Gedung Smesco, Jakarta, Selasa (6/5).
Menurutnya, tren penutupan gerai juga imbas dari perang dagang AS-Cina yang mengakibatkan tutupnya industri ritel, termasuk di dunia. Untuk itu, dia meminta agar pemerintah memberikan kemudahan izin berusaha agar industri ritel bisa lebih leluasa berekspansi.
“Itu efek dari perang dagang, itu pasti lagi lesu seluruh dunia. Kita cuma minta pemerintah mempermudah izin-izin berusaha, mempermurah pajak-pajak, berikan BLT (bantuan langsung tunai), itu akan menyelamatkan,” jelasnya.
Meski demikian, Budihardjo memproyeksi bisnis ritel di Tanah Air akan tetap positif di tengah maraknya toko ritel yang berguguran. Sebab, Indonesia memiliki populasi penduduk yang mencapai 270 juta jiwa.
Cabut Kebijakan Efisiensi
Himpunan Peretail dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia mendesak pemerintah mencabut kebijakan efisiensi anggaran agar ekonomi Indonesia dapat bergairah kembali. Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah menilai pencabutan kebijakan itu dapat meningkatkan daya beli masyarakat.
“Kami ini industri padat karya karena tokonya offline, enggak online,” kata Budihardjo.
Harapannya, pemerintah kembali membuat berbagai acara. "Peretail senang kalau ada event. Banyak orang nanti makan dan minum, meramaikan retail," ucapnya.
Badan Pusat Statistik kemarin melaporkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2025 hanya mencapai 4.87%. Angka ini melambat dibandingkan kuartal I 2025 yang mencapai 5,11% dan jauh dari target pemerintah tahun ini di 5,2%.
Salah satu penyumbang terbesar perlambatan ekonomi tersebut adalah konsumsi rumah tangga yang melambat. BPS mencatat konsumsi ini hanya tumbuh 4,89% meskipun pada triwulan pertama 2025 ada momen Ramadan dan Idulfitri.
