Kisah Bu Jero Pengrajin Patung, Pernah Modal Cekak hingga Tembus Pasar Global
Seorang pengrajin patung kayu asal Bali, Ni Made Suhendri, berhasil menembus pasar internasional melalui karya patung kura-kura yang diproduksi secara mandiri bersama suaminya, Dewa Merit.
Perempuan yang akrab disapa Bu Jero ini, merintis usaha patung kayu sejak 1995. Pada awalnya, usaha ibu Made hanya memproduksi patung dan parsel alias kerajinan kayu berbentuk lego. Sejak 2007, Jero dan suaminya lebih fokus membuat patung penyu berbahan kayu.
Usaha patung penyu inilah yang menjadi sumber penghasilan utamanya hingga hari ini. “Sampai sekarang, hanya membuat bentuk patung penyu, karena sudah ada pasarnya khusus,” kata Jero, ditemui di kediamannya, di wilayah Gianyar, Bali, Jumat (23/5).
Patung penyu ini merupakan patung kayu ukir berbentuk penyu. Ukuran yang dibuat Bu Jero bersama suaminya bermacam-macam, berkisar antara 8 cm, 10 cm, hingga 20 cm.
Pada awalnya, mereka mulai menjual hasil karya dengan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Dalam tradisi Bali, cara berjualan ini disebut “kacung”. Kemudian, penjualan dilakukan dengan memasok produk kepada pengepul.
Dari semula hanya memproduksi puluhan patung, usaha yang dijalankan ibu Jero terus berkembang dan mampu memproduksi 1.000 – 2.000 patung per bulan. Kini, seorang turis dari China menjadi langganannya dan kerap memesan dalam jumlah banyak.
Ia bercerita, usaha ini tak selalu berjalan mulus. Sebab, keduanya pernah mengalami krisis, terutama dalam hal pembiayaan modal. “Jadi upaya ini sempat susah, karena untuk membuat pesanan dan membeli bahan itu membutuhkan modal yang besar,” ujarnya.
Pendapatan pun disebutnya menurun hingga 60% dari biasanya. Dalam kondisi tersebut, Bu Jero bergabung menjadi mitra Amartha pada tahun lalu. Pinjaman modal yang didapat digunakan untuk membeli bahan baku dan alat produksi.
"Kalau tidak ada modal dari Amartha, pasti pinjam ke rentenir," kata dia.
Modal pinjaman sebesar Rp 5 juta ini digunakan Bu Jero bersama suaminya untuk membangun kembali bisnis kerajinan ini. Melalui dana tersebut, ia membeli bahan dan meningkatkan kapasitas produksi.
“Dulu empat hari hanya mampu membuat seratus patung. Kalau sekarang, bisa sampai 300 patung per hari karena bahannya sudah bisa dibeli semua,” ujarnya.
Dengan usaha dan kapasitas produksi yang telah lebih stabil, kedua pengrajin ini memiliki pelanggan tetap di pasar luar negeri, terutama di Cina. Patung yang dikirim menyesuaikan dengan jumlah pesanan, dengan jumlah sekitar 1.000 buah per bulan.
Selain itu, para pengepul lain di pasar Sukawati pun memesan secara langsung pada keduanya. “Semua datang langsung, kadang saya terima, tetapi kalau jumlah pesanan sudah di luar kapasitas produksi kami, kadang saya tolak,” katanya.
Sebab, hampir seluruh proses produksinya masih dilakukan secara manual, sehingga ada keterbatasan dalam pembuatan dalam jumlah besar.
Lewat modal pinjaman tersebut, usahanya kini berjalan dengan kapasitas produksi mencapai 1.000–2.000 patung per bulan. Produksi ini melibatkan bantuan mesin dalam pembuatan bentuk dasar yang dibuat oleh suaminya, kemudian diukir secara manual oleh Bu Jero.
Usai menjadi bentuk penyu, patung kemudian memasuki proses akhir (finishing) dengan polesan plitur. Patung penyu tersedia dalam pilihan warna, yakni cat natural dan plitur coklat.
Produk-produk Bu Jero dijual dalam berbagai ukuran, dari yang terkecil 8 cm seharga Rp7.000, ukuran 10cm seharga Rp8.000, hingga yang terbesar 20 cm seharga Rp25.000.
Ia juga menerima finishing khusus sesuai permintaan pelanggan, yang membuat harga patung bisa meningkat hingga dua kali lipat.
Patung kura-kura hasil karya mereka kini telah dikenal luas, bahkan beberapa pembeli dari luar negeri datang langsung untuk melakukan pemesanan. Meski tidak memiliki merek khusus, kualitas produk mereka telah menjadi identitas tersendiri di mata para pengepul dan pelanggan.
Tidak hanya menghadirkan produk kerajinan, Ibu Made dan suaminya juga membuka peluang bagi jurnalis dan tamu Amartha untuk melihat langsung proses produksi, bahkan ikut dalam workshop mewarnai patung. “Yang penting sehat,” kata mereka, “kalau sehat, usaha juga bisa terus jalan.”

