Mendag Batalkan Tarif Anti Dumping Produk Tekstil Cina, Apa Dampak ke Investasi?
Menteri Perdagangan Budi Santoso memutuskan untuk tidak meneruskan rekomendasi pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap dua bahan baku industri tekstil, yakni partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY) asal Cina. Keputusan ini berujung pada batalnya potensi investasi industri hulu tekstil sebesar US$ 250 juta atau sekitar Rp4,2 triliun.
Sebelumnya, Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) telah merekomendasikan tarif BMAD sebesar 5,12% hingga 42,3% terhadap dua jenis bahan baku tersebut. Namun, Budi menilai pengenaan tarif ini justru akan meningkatkan biaya produksi sektor hilir, terutama industri garmen nasional.
“Pemerintah berkomitmen menjaga keseimbangan antara perlindungan industri dalam negeri dan kebutuhan akan bahan baku yang kompetitif bagi sektor hilir, demi menjaga kelangsungan dan daya saing industri nasional secara menyeluruh,” kata Budi dalam pernyataan resmi, Kamis (19/6).
POY dan DTY merupakan hasil pemrosesan polyester yang digunakan sebagai bahan baku benang, sebelum akhirnya diolah menjadi kain dan produk garmen. Menurut Budi, industri hulu tekstil nasional belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan sektor hilir. Sebab, sebagian produsen tidak melepas produksi mereka ke pasar terbuka, melainkan digunakan secara internal.
Di sisi lain, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tengah menghadapi tekanan global, baik dari ketegangan geoekonomi-politik maupun tarif resiprokal, seperti dari Amerika Serikat. Hal ini tercermin dari menurunnya kontribusi industri TPT terhadap PDB, dari 1,3% pada 2019 menjadi hanya 1,1% pada 2023.
Keputusan untuk menghentikan proses BMAD tersebut juga telah dibahas lintas kementerian, termasuk melalui koordinasi dengan Kemenko Perekonomian dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Potensi Investasi yang Hilang Akibat Pembatalan BMAD
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Wirawasta menilai keputusan tersebut menjadi pukulan bagi calon investor yang telah menaruh minat untuk masuk ke industri petrokimia nasional.
Dia menyebut potensi investasi yang hilang akibat pembatalan rekomendasi BMAD lebih dari US$ 250 juta. Sebagian investor yang sebelumnya tertarik kini mengurungkan niatnya.
Ia menyebutkan bahwa salah satu proyek strategis yang terancam adalah pembangunan pabrik monoethylene glycol (MEG) oleh PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP), yang direncanakan memiliki kapasitas 500.000 ton per tahun dan nilai investasi hingga US$ 18 miliar atau setara Rp294,8 triliun. Proyek ini dijadwalkan mulai beroperasi pada 2030.
“Kalau industri hilir petrokimia dibanjiri produk impor seperti ini, bagaimana bisa rencana investasi industri petrokimia jalan,” ujar Redma kepada Katadata.co.id, Kamis (19/6).
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Andrew Purnama menyambut baik keputusan pemerintah. Menurutnya, pengenaan BMAD pada POY dan DTY akan memicu lonjakan biaya produksi benang dan garmen karena bahan baku menyumbang sekitar 70% dari harga benang lokal.
“Dalam konteks ini, penting agar semua kebijakan diarahkan untuk memperkuat rantai nilai nasional secara terintegrasi, bukan hanya pada satu sisi mata rantai saja,” ujar Andrew kepada Katadata.co.id, Kamis (19/6).
Ia mengakui bahwa belum ada kesepakatan antara pelaku industri hulu dan hilir terkait BMAD, namun pihak hilir mengapresiasi langkah pemerintah. “Kami sangat bersyukur bahwa pemerintah telah mengambil kebijakan yang tepat,” katanya.
