Label Beras Premium Dihapus, 95% Penggilingan Padi Terancam Gagal Penuhi Standar
Mayoritas perusahaan penggilingan padi terancam sulit mengikuti standar kualitas beras baru, jika pemerintah menghapus label premium dan medium. Pasalnya, Badan Pusat Statistik mendata 95% dari 161.140 perusahaan penggilingan padi nasional masih berskala kecil.
Ketua Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia atau Perpadi, Sutarto Alimoeso, menyatakan perusahaan penggilingan kecil tersebut hanya mampu menggiling kualitas beras medium. Jika ada standar baru di mana kualitasnya lebih tinggi dari medium, maka perusahaan penggilingan tersebut kemungkinan tidak bisa mengikutinya.
Oleh sebab itu, Sutarto mengatakan, penerapan standar beras baru itu harus diikuti modernisasi mesin penggilingan. Dia memperkirakan dibutuhkan investasi lebih dari Rp 400 triliun sampai Rp 800 triliun agar penggilingan padi di Indonesia mampu menghasilkan beras dengan kualitas lebih tinggi dari medium.
Sebelumnya, Kementerian Sekretariat Negara menjelaskan penyatuan standar beras bertujuan agar masyarakat mendapatkan beras berkualitas tinggi dengan harga yang wajar. Selain itu, penyatuan standar dinilai dapat menghilangkan praktek oplosan atau pelanggaran standar beras.
Bisa Sebabkan Orang Miskin Baru
Sementara itu, pakar pertanian, Khudori, mendorong pemerintah agar membuat kebijakan standar beras yang baru sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Sebab, kebijakan tersebut akan mempengaruhi 285 juta jiwa konsumen di dalam negeri.
Khudori mencatat rata-rata kontribusi pembelian beras terhadap pengeluaran keluarga adalah 5,2%. Angka tersebut naik menjadi 25,87% untuk keluarga miskin.
"Mereka yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan, bisa jadi kaum miskin baru dengan aturan baru standar beras," kata Khudori.
Di samping itu, Khudori menyampaikan kebijakan pada orde baru telah membentuk industri penggilingan yang didominasi penggilingan kecil. Sebab, beras dipandang sebagai komoditas homogen pada saat itu.
Namun Khudori menyampaikan beras kini telah menjadi komoditas heterogen saat memasuki masa reformasi. Dengan demikian, beras kini dibedakan sesuai dengan atributnya, seperti rasa, kualitas, varietas, dan kemasan.
"Karena itu, pangsa pasar beras premium saat ini naik menjadi 30%," katanya.
Maka dari itu, Khudori menawarkan empat alternatif terkait arah aturan standar beras kepada pemerintah. Pertama, peningkatan kualitas beras menjadi beras premium. Menurutnya, pilihan tersebut akan membuat mutu beras lokal setara dengan beras di pasar global.
Kedua, standar beras yang baru merupakan titik tengah antara kualitas beras medium dan premium. Khudori mengakui opsi ini akan membebani masyarakat miskin dan rentan miskin. Selain itu, banyak penggilingan padi yang tidak mampu memenuhi kualitas tersebut.
Ketiga, mewajibkan setiap penggilingan memproduksi beras medium dengan rasio tertentu. Namun pemerintah tidak menentukan harga eceran tertinggi beras premium.
Khudori menilai pilihan aturan tersebut akan memicu penggilingan padi kualitas premium berlomba-lomba meningkatkan kualitasnya. "Rasio kewajiban produksi beras medium akan menghilangkan kekhawatiran terkait minimnya pasokan beras untuk masyarakat banyak," ujarnya.
Terakhir, mengganti aturan harga eceran tertinggi dengan harga langit-langit. Khudori menjelaskan kebijakan tersebut membuat masyarakat tidak mengetahui harga ideal beras, namun Bulog harus berperan aktif mengintervensi harga beras di pasar.
Karena itu, Khudori menilai pemerintah harus mengubah paradigma penyimpanan beras Bulog dari stok besi menjadi stok dinamis. Dengan kata lain, beras pemerintah yang dikelola Bulog tidak hanya dikeluarkan saat kebutuhan bencana atau bantuan pangan, namun setiap saat.
"BULOG akan menjadi penentu, rujukan, dan pemimpin harga pasar beras. Dengan perluasan cakupan bahan pangan, maka BULOG akan jadi pembentuk harga pasar pangan," ujarnya.
