Boris Johnson, PM Inggris yang Pernah Dipecat dari Profesi Jurnalis
Boris Johnson terpilih menjadi Perdana Menteri (PM) Inggris menggantikan Theresa May dan akan dilantik pada Rabu (24/7). Pemimpin Partai Konservatif ini memperoleh 92.153 suara atau 57,8% dari 159.320 suara sah.
Ia unggul dari rivalnya, Jeremy Hunt, yang hanya memperoleh suara sebesar 46.656 suara atau 29,28%. Johnson dan Hunt merupakan dua dari sepuluh politikus yang lolos dari lima putaran penyisihan kandidat PM yang dipilih oleh 313 anggota parlemen dari Partai Konservatif.
Dalam pidato kemenangannya, pria berusia 55 tahun itu menyatakan niatnya untuk menuntaskan Brexit, menyatukan Inggris, dan mengalahkan Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn, yang merupakan partai oposisi. Sosok politikus yang disebut sebagai 'Trump dari Inggris' itu tidak lepas dari kontroversi.
Boris Johnson adalah lulusan sekolah elite Eton College dan Oxford University. Setelah lulus, ia memulai kariernya sebagai konsultan manajemen. Setelah itu, ia banting setir menjadi jurnalis di surat kabar The Times pada 1987. Namun, ia dipecat karena terbukti memalsukan pernyataan narasumber.
Johnson pindah menjadi koresponden di The Daily Telegraph dengan liputan khusus Komunitas Eropa. Kariernya semakin moncer saat menjabat sebagai asisten editor. Pengalaman tersebut membentuknya menjadi sosok Euroskeptis. Ia kerap melontarkan kritik keras terhadap Uni Eropa melalui tulisannya. Ia seringkali dicerca karena menuliskan fakta-fakta yang kebenarannya dipertanyakan. Selain itu, ia acapkali menulis artikel dengan nuansa rasis, namun ia berdalih hal itu terjadi karena silsilahnya penuh warna.
Johnson berasal dari keluarga terpandang Inggris dengan latar belakang beraneka ragam. Kakek buyut dari ayahnya adalah jurnalis Muslim ternama Turki, Ali Kemal Bey. Kakek buyut dari pihak ibunya memiliki darah Yahudi Lithuania dan Yahudi Ortodoks Israel. Keluarga Johnson masih berkerabat dengan keluarga Kerajaan Inggris yang merupakan keturunan dari Raja George II yang memerintah pada abad ke-18.
Karier Politik Diwarnai Skandal
Setelah mengakhiri kariernya di media, pria yang memiliki nama lengkap Alexander Boris de Pfeffel Johnson ini melanjutkan kariernya sebagai politikus. Pernyataannya seringkali menimbulkan polemik.
Ia pertama kali menjadi kandidat dari Partai Konservatif untuk wilayah Clwyd Selatan pada 1997. Namun ia kalah dari pesaingnya, Martyn Jones yang berasal dari Partai Buruh. Ia tidak menyerah. Pada 2001, Johnson berhasil menjadi anggota parlemen di wilayah Henley-on-Thames. Lagi-lagi ia mendapatkan masalah, Johnson karena memiliki rekor kehadiran yang rendah di parlemen.
Meskipun jarang hadir, ia dipercaya menjadi wakil ketua umum Partai Konservatif, menteri bayangan kebudayaan serta menteri bayangan pendidikan tinggi. Saat menjabat posisi tersebut, ia mengalami skandal perselingkuhan yang membuatnya kembali dipecat dengan alasan moralitas pribadi.
Saat skandal perselingkuhannya terkuak, ia masih menikah dengan istri keduanya dan memiliki empat anak. Selain itu, ia juga dikabarkan memberi sejumlah uang kepada perempuan selingkuhannya untuk melakukan aborsi. Ia sempat membantah tuduhan dari sebuah tabloid yang menyebut dirinya berselingkuh selama empat tahun.
(Baca: Boris Johnson Jadi PM Inggris, Rupiah Kembali Ke Level Rp 14.000/US$)
Pernah Menjabat Wali Kota London hingga Menteri Luar Negeri
Skandal tidak mematahkan karier Johnson. Ia terus melaju hingga terpilih menjadi wali kota London pada 2008. Ia berhasil menguasai kota yang memiliki kekuatan dari Partai Buruh dan mengalahkan petahana dua periode, Ken Livingstone. Di bawah kepemimpinannya, ia berhasil membawa London menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 2012.
Selain itu, ia berhasil menekan tingkat kejahatan dan membenahi transportasi. Ia kembali membuat heboh saat proyek jembatan taman di atas Sungai Thames gagal dibangun. Warga setempat juga menolak pembangunan tersebut sehingga akhirnya dibatalkan pada 2017.
Namanya pun semakin melesat kala ia menjadi menteri luar negeri Inggris di bawah kepemimpinan May di era 2016 hingga 2018. Namun ia mengundurkan diri karena terdapat perbedaan pendapat mengenai kesepakatan Brexit May yang menurutnya terlalu lemah.
Perjalanannya sebagai menteri luar negeri pun tidak berarti lepas dari kontroversi. Kesalahannya menyebabkan warga Inggris dipenjara di Iran atas tuduhan spionase.
Beberapa koleganya di kabinet juga tidak terlalu senang dengan kehadiran Johnson. Seperti dilansir CNN.com, Menteri Keuangan Inggris Philip Hammond menyatakan ia akan mundur jika Johnson terpilih menjadi perdana menteri. Alasannya, Johnson karena keputusan untuk melanjutkan Brexit dapat membahayakan ekonomi Inggris.
Menteri Kehakiman Inggris David Gauke juga pernah mengancam akan mundur jika Boris Johnson terpilih sebagai PM Inggris. "Saya masuk ke kabinet karena Theresa May dan saya pikir yang terbaik adalah jika saya mundur pada saat May masih berkuasa," kata Gauke.
(Baca: Sejarah Kontroversial Brexit dan Peran Perdana Menteri Inggris)