Wajah Muram Kebebasan Pers dan Industri Media Global Saat Pandemi

Image title
4 Agustus 2020, 19:03
Ilustrasi. Kekerasan terhadap jurnalis dan pembatasan informasi terjadi selama pandemi Covid-19. Pendapatan industri media juga terpukul.
ANTARA FOTO/Rahmad
Ilustrasi. Kekerasan terhadap jurnalis dan pembatasan informasi terjadi selama pandemi Covid-19. Pendapatan industri media juga terpukul.

Pandemi virus corona membuat wajah dunia jurnalisme muram. Hal ini ditandai dengan terancamnya kebebasan pers berupa pengusiran jurnalis asing, penangkapan jurnalis, dan pembatasan informasi. Di sisi lain, bisnis media juga terpuruk.

Kabar terbaru menyangkut kebebasan pers adalah rencana pemerintah Tiongkok mengusir jurnalis AS dari negaranya, termasuk yang sedang berada di Hong Kong. Hal ini disampaikan Editor in Chief Global Times, Hi Xijin, Selasa (4/8) melansir Reuters. Global Times adalah media yang dipublikasikan People’s Daily, surat kabar resmi dari Partai Komunis Tiongkok.

Hi Xijin menyatakan, langkah tersebut dipersiapkan sebagai skenario terburuk atas kebijakan pembatasan visa jurnalis Tiongkok. “Mengingat bahwa pihak AS belum memperbarui visa jurnalis Tiongkok,” katanya.

Pemerintah AS pada 11 Mei lalu telah mengeluarkan aturan pembatasan visa jurnalis Tiongkok hanya sampai 90 hari dengan opsi bisa diperpanjang. Namun, sampai saat ini belum bisa diperkirakan berapa jurnalis Tiongkok yang kemungkinan terdampak. Belum juga bisa diperkirakan jumlah yang harus meninggalkan AS lantaran visanya tak bisa diperpanjang.

Sebelum mengeluarkan kebijakan tersebut, seperti dilansir The New York Times, pemerintahan Presiden Donald Trump pada awal Maret telah membatasi karyawan lima media yang berafiliasi dengan pemerintah Tiongkok. Kelima media tersebut adalah Xinhua, CGTN, China Radio, China Daily, dan People’s Daily. Mereka harus membatasi maksimal 100 orang karyawan berkebangsaan Tiongkok.

Data The New York Times menyebut saat itu terdapat 160 orang karyawan berkebangsaan Tiongkok yang bekerja di kelima media tersebut, termasuk jurnalis. Artinya 60 orang karyawan harus meninggalkan AS terhitung 13 Maret atau saat kebijakan mulai berlaku. Kecuali mereka memiliki visa lain yang bisa membuat mereka tetap tinggal.

Meskipun begitu, Sekretaris Negara AS Mike Pompeo menyatakan pemerintah tak akan membatasi dan menyensor pemberitaan kelima media tersebut. Sebuah hal yang berkebalikan dengan tindakan Tiongkok mengintimidasi jurnalis asing.

“Harapan kami adalah tindakan ini akan memacu Beijing mengadopsi pendekatan yang lebih adil ke AS dan jurnalis asing lain di Tiongkok,” kata Pompeo, melansir The New York Times.

Langkah pemerintah AS memang sebagai balasan atas pengusiran tiga jurnalis The Wall Street Journal dari Tiongkok pada 19 Februari 2020. Pengusiran ini terkait dengan kerja jurnalistik mereka membuat laporan berjudul China Is the Real Sick Man of Asia yang merujuk kondisi pandemi virus corona di Tiongkok. Pengusiran ini adalah yang pertama sejak 1998, merujuk pernyataan Foreign Correspondent’s Club of China.

Alasan pemerintah Tiongkok mengusir ketiga jurnalis tersebut, seperti disampaikan Juru Bicara Pemerintah Geng Shuang, lantaran laporan tersebut dinilai ”bermasalah serius dan warga Tiongkok tak menyambut media yang menerbitkan pernyataan rasis serta mencoreng Tiongkok.” Namun, ia tak merinci permasalahan serius tersebut.

Penangkapan, Pembatasan Akses Informasi, dan Ketimpangan Gender

India bisa menjadi potret terjadinya kekerasan langsung terhadap jurnalis oleh pemerintah saat memberitakan pandemi virus corona. Melansir The Guardian, sampai 31 Juli lalu, 50 jurnalis telah ditangkap atau mendapat kekerasan fisik. Mayoritas dari mereka bekerja di wilayah pedesaan, tempat 60% dari 1,35 miliar warga India tinggal.

Salah satu yang menjadi korban penangkapan adalah Om Sharma, jurnalis di Himachal Pradesh, sebuah wilayah di India Utara. Polisi menangkapnya terkait laporan tayangan langsung Facebook yang menampilkan pekerja terlunta dan membutuhkan makanan selama lockdown atau karantina wilayah.

“Pesan tidak langsungnya adalah kami tidak bisa menampilkan pemerintah secara buruk. Bahkan jika harus menutup mata atas masalah yang kita saksikan,” kata Sharma kepada The Guardian.

Sementara jurnalis Mushtaq Ahmed Ganai yang berdomisili di Kashmir mengalami kekerasan oleh polisi pada 11 April. Kekerasan ini terjadi saat ia meliput lockdown. Polisi pun mencabut stiker press di mobilnya dan mengenainya pasal kelalaian dalam Pakta Pandemi sebelum menahannya selama 48 jam.

“Jurnalisme adalah kemauan, khususnya untuk mereka yang bekerja di Kashmir,” katanya usai dilepas, melansir The Guardian.

Penangkapan dan kekerasan di India diperparah dengan pembatasan akses ke pengacara. Pengadilan pun hanya mau menerima kasus-kasus tertentu saja. Sehingga, menurut aktivis kebebasan berpendapat Geeta Seshu, “media cenderung bermain aman dengan tak mengkritisi kebijakan buruk pemerintah India terkait pandemi.”

Kekerasan terhadap jurnalis dalam memberitakan Covid-19 juga terjadi di Indonesia. Mengutip situs resmi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, hal ini menimpa Mohammed Hashemi Rafsanjani pada 20 April 2020. Ia mendapat intimidasi dan penghalangan dari warga saat meliput seorang warga yang meninggal lantaran diduga kesulitan ekonomi di saat pandemi virus corona.

AJI menilai kejadian tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Khususnya Pasal 4 ayat 3 yang menyatakan “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasioanl berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Setiap orang yang melanggar hal ini terancam pidana paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Hasil Survei the International Federation of Journalist (IFJ) periode 26-28 April kepada 1.308 staf dan jurnalis lepas di 77 negara mencatat 73,9% dari responden mengalami pembatasan informasi. Seorang jurnalis portugis yang turut serta dalam survei medeskripsikan kondisi ini sebagai, “lebih banyak rilis pres, lebih sedikit reportase sungguhan, konferensi pers tanpa pertanyaan.”

Sekjen IFJ, Anthony Bellanger menyatakatan dalam keterangan tertulisnya di situs resmi IFJ, pembatasan akses informasi menghasilkan kekhawatiran menurunnya kebebasan pers dan kualitas jurnalisme. “Jurnalisme adalah hak publik dan membutuhkan dukungan masyarakat serta penghentian interfensi dan penghadangan secara politis,” katanya.

Hasil survei IFJ lain terhadap 558 jurnalis wanita di 52 negara periode 19-30 Juni menyatakan 55,60% mengalami ketimpangan gender selama Covid-19. Ketimpangan tersebut terjadi di lima isu utama, yakni: gaji (27,42%), tanggung jawab pekerjaan (45,97%), promosi jabatan (18,28%), topik liputan (24,46%), konsiliasi antara kehidupan pribadi dan pekerjaan (62%).

Lebih dari tiga per empat responden pun menyatakan lebih stress saat bekerja di tengah pandemi. Ragam penyebabnya antara lain bekerja dengan karantina, perundungan dari atasan, masalah domestik, beban kerja meningkat, jam kerja bertambah, dan takut kehilangan pekerjaan.

Responden dari Indonesia menyatakan: “saya takut kehilangan pekerjaan. Beberapa media telah tutup, memangkas kontributornya, dan mengurangi gaji pegawai level menengah ke atasnya. Saya takut kantor saya akan tutup juga.”

Seluruh kondisi buruk tersebut berkorelasi dengan indeks global kebebasan pers 2020 dari organisasi nirlaba Reporters Without Borders (RSF). Proporsi negara yang berwarna putih atau telah mempunyai kebebasan pers baik tak berubah di angka 8%. Sebaliknya, negara yang situasi kebebasan persnya buruk bertambah 2 poin dari tahun sebelumnya menjadi 13%.

Selengkapnya bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:

Dalam global indeks tersebut, Indonesia berada di peringkat ke-119 dari 180 negara dengan poin 36,82 dan masih berada di zona oranye. Poin ini lebih buruk dari 2019 yang 36,77. Semakin kecil poin menunjukkan kondisi kebebasan pers semakin baik. Sementara Tiongkok dan AS yang saling usir jurnalis berada di peringkat 177 (78,48 poin) dan peringkat 45 (23,85 poin). India berada di peringkat 142 dengan 45,33 poin.

Industri Media Terpukul

Kondisi kebebasan pers yang buruk di masa pandemi Covid-19 diperparah dengan terpukulnya industri media. Terlihat dari efisiensi yang dilakukan media-media besar. The Guardian pada 16 Juli melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 180 pegawainya, termasuk 70 orang dari divisi editorial.

PHK dilakukan The Guardian setelah mengalami penurunan pendapatan sebesar US$ 31,6 juta selama pandemi. “Pengaruh terhadap periklanan dan penjualan surat kabar telah menciptakan prospek keuangan yang tidak berkelanjutan untuk Guardian,” kata Editor Katharine Viner, melansir CNN.

Data WARC tentang Global Ad Trends 2020 menyatakan bujet iklan memang anjlok di hampir seluruh sektor. Beberapa sektor yang terdalam adalah pariwisata (-31,2%), hiburan (-28,7%), jasa keuangan (-18,2%), dan ritel (-15,2%). Sementara analisis konsultan keuangan KPMG menyatakan, belanja iklan selalu selaras dengan kondisi perekonomian dunia. Saat resesi ekonomi sebelumnya, rasionya turun 7%-15%.

Pada 16 Juli lalu, CEO BBC Annete Thomas juga mengumumkan akan mem-PHK lagi 70 karyawannya karena keuangan perusahaan tertekan Covid-19. Padahal, pada Januari lalu media Inggris ini telah memecat 450 karyawannya dan pada Juni mem-PHK 450 orang dari ruang berita regionalnya.

Tekanan pendapatan, kata Thomas, lantaran keterlambatan pengumpulan biaya lisensi yang mendanai penyiar. Sebelum pandemi pun BBC telah berhemat US$ 157,9 juta lantaran tekanan dari pemerintah Inggris pada anggaran perusahaan. BBC memang didanai dari pajak pemerintah Inggris.

Perushaan media di Indonesia juga terpukul. Pendataan Serikat Perusahaan Pers (SPS) terhadap 434 media cetak sepanjang Januari-April 2020 menyatakan 71% mengalami penurunan omzet. Angka ini lebih tinggi dari periode sama tahun lalu yang penurunan dialami 40% perusahaan. 50% perusahaan pers cetak pun telah memangkas gaji karyawannya sebesar 2%-30%.

Data Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) menyatakan, pandemi membuat perusahaan radio kehilangan 70% iklan. Sementara, data Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menyatakan media online mengalami penurunan pendapatan 25%-80%. Kedua data ini disampaikan Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga Dewan Pers, Agus Sudibyo dalam sebuah diskusi daring 28 Mei lalu.

Terpuruknya industri media membuat pemerintah sejumlah negara memberi stimulus. Salah satunya Australia yang memberi potongan 100% pajak penyiaran komersil selama setahun dengan nominal mencapai US$ 41 juta dimulai 14 Februari lalu.

Program stimulus pemerintah Australia lainnya adalah, investasi kepada media lokal, pendanaan berita untuk kepentingan umum, pendanaan inovasi untuk penerbit kecil dan regional, bantuan jangka pendek, dan harmonisasi regulasi.

Jumat (31/7) lalu, pemerintah Australia juga mewajibkan Facebook dan Alphabet Google membayar media atas konten berita yang mereka unggah demi melindungi jurnalisme. Skema pembayaran menggunakan sistem royalty yang akan menjadi hukum tahun ini.

“Ini tentang keadilan untuk bisnis media berita Australia. Ini untuk memastikan bahwa kami telah meningkatkan persaingan, meningkatkan perlindungan konsumen, dan lanskap media yang berkelanjutan,” kata Bendahara Negara Josh Frydenberg, melansir Reuters.

Di Indonesia sampai saat ini belum ada paket stimulus khusus untuk perusahaan media. Namun, pemerintah memiliki stimulus untuk dunia usaha berupa insentif perpajakan dengan total anggaran Rp 120,61 triliun. Program ini termasuk dalam agenda Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan total anggaran mencapai Rp 695,2 triliun.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...