Mengenal Pakat Dayak USD, Komunitas Seni Dayak di Yogyakarta
Suku Dayak merupakan satu dari banyak etnis di Indonesia. Menurut Sosial Horizon: Jurnal Pendidikan Sosial Volume 3 Nomor 2 Tahun 2016, Dayak merupakan sebutan penduduk asli Pulau Kalimantan. Suku ini mempunyai 405 subsuku dengan adat istiadat dan budaya yang mirip.
Contoh budaya suku Dayak yang khas dan terkenal ialah alat musik petik tradisional bernama sape. Di samping itu, ada pula Tari Burung Enggang yang dipentaskan untuk memuliakan nenek moyang etnis tersebut.
Di Yogyakarta, Pakat Dayak Universitas Sanata Dharma (USD) termasuk komunitas yang aktif mengenalkan budaya suku tersebut. Mereka kerap diundang untuk menampilkan kesenian etnis dari Borneo di dalam dan luar kampus.
Pada Sabtu (19/02) lalu, kelompok ini mementaskan musik dengan permainan sape serta tarian suku Dayak di Festival Cinta. Gabriel Kelvin Pangkersik, pegiat Pakat Dayak USD, mengatakan komunitasnya mempertunjukkan tari dan musik untuk penyambutan di acara yang berlangsung di Omah Petroek, Pakem, Sleman, Yogyakarta tersebut.
Menurut laki-laki 22 tahun itu, Pakat Dayak terbentuk sekitar 2009 dan saat ini memiliki anggota 40-an orang. Meski kelompok ini adalah komunitas daerah, Pakat Dayak USD menerima mahasiswa dari lain kampus atau di luar suku Dayak yang tertarik ingin mempelajari budaya etnis tersebut.
“Pakat Dayak itu kurang lebih sebuah sanggar seni budaya Dayak yang terdiri dari tari, musik, dan drama. Nama Pakat Dayak sendiri berarti kekeluargaan jadi kami berkumpul seperti keluarga untuk menyatukan rasa persatuan daerah. Siapa pun yang mau belajar bisa gabung,” katanya.
Ada dua jenis tari yang biasanya ditampilkan Pakat Dayak, yakni tari tradisi dan tari kreasi dengan cerita drama. Untuk musik, komunitas ini menggunakan sape, gitar, serta gitar bas buat nada dan kenong, jimbe, gong, juga bedok sebagai perkusi. “Kalau drama sebenarnya untuk pelengkap dari kesatuan musik dan tari. Kisah yang diangkat bisa cerita tradisional atau kisah drama yang memang sedang ingin kami sampaikan ke penonton,” ujarnya.
Kelvin menilai orang kebanyakan hanya mengetahui budaya Dayak dari tarian dan musik. Padahal, budaya etnis tersebut sangat kaya. Pakat Dayak USD pun tidak membatasi pentas hanya di kampus. Komunitas tersebut menerima undangan dari penyelenggara di luar kampus. Asalkan bisa mengenalkan budaya suku Dayak, para pegiatnya bersedia datang.
Khusus di Festival Cinta, Kelvin menjelaskan komunitasnya membawakan musik tradisi yang tak mensyaratkan penggunaan alat perkusi yang terlalu banyak. Mereka memainkan dua lagu yang berjudul Leleng dan Datun Julud di depan peserta festival.
Saat itu, Kelvin memainkan alat musik perkusi jimbe. Setelahnya tiga orang penari muncul di panggung membawakan tari suku Dayak. “Dasar-dasar gerakan tarinya kalau di Kalimantan dipakai untuk penyambutan. Iringan tarinya kami buat sendiri untuk mengiringi gerakan tari agar masuk ke irama dan tempo gerakan mereka,” ujarnya.
Menurut Kelvin budaya daerah dapat dipakai untuk mengenal diri sendiri. Partisipasi Pakat Dayak di Festival Cinta lantas dimaknai sebagai cara mengartikan cinta dalam kehidupan sehari-hari termasuk terhadap diri sendiri, alam, dan budaya.
“Kami mengartikan Pakat Dayak dalam Festival Cinta sebagai usaha anak muda untuk mencintai budaya sehingga dapat hidup berdampingan dan menghindari konflik suku juga agama. Budaya Dayak kami gunakan untuk mengenal diri sendiri dan kami jaga agar tidak tergerus zaman,” katanya.