Yoga untuk Semua di Festival Cinta
Belasan orang menggelar matras yoga di area terbuka Omah Petroek pada Sabtu (19/02) lalu. Mereka menggunakan pakaian khas orang yang hendak berolahraga: celana legging spandek, baju berbahan kaos, dan celana training berwarna gelap atau terang.
Setelah matras digelar, para peserta langsung mengambil posisi duduk bersila. Masker menutupi sebagian wajah mereka. Tak ada suara obrolan sebab semua bersiap untuk yoga.
Tak lama setelah itu, praktisi yoga sekaligus pendiri komunitas Yoga Gembira Yudhi Widdyantoro naik ke atas panggung yang terletak di muka area terbuka. Ia memakai baju panitia berwarna merah dengan logo Festival Cinta yang besar di depannya.
Selain Yudhi, ada dua pegiat sekaligus praktisi yoga yakni Patah Ansori dan Wilhelmus yang mengisi “Yoga untuk Semua”. Mereka bergantian mengajar yoga di panggung hingga sesi acara ditutup dengan permainan kartu bersama peserta festival.
Pagi itu, sesi dalam Festival Cinta yang bertajuk “Yoga untuk Semua” diikuti berbagai macam orang: laki-laki, perempuan, anak muda, serta orang tua.
Patah menjelaskan peserta festival yang mengikuti yoga memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka belum bisa yoga sedangkan sisanya sudah bisa bahkan mahir beryoga. Akan tetapi, di situ justru terletak keindahan olahraga yang menggabungkan pikiran dan tubuh tersebut.
“Seseorang yang sudah mahir melakukan gerakan yoga dengan pemula akan sama-sama mendapatkan manfaat yang maksimal. Hanya kesempurnaan pose saja yang lain tetapi bagi kami hal itu tidak terlalu penting,” kata Patah.
Menurutnya, yoga di Festival Cinta untuk mengenal tubuh sendiri, merasakan, menghayati, dan menghargai organ pernapasan. Perhatian pada pernapasan kerap kali dilakukan tanpa disadari.
Karena itu, ada tiga tangga atau jalan dalam yoga yang dilakukan Patah, dkk di sesi acara tersebut agar kesadaran tersebut muncul. Asana meliputi olah tubuh, pranayama alias olah napas, serta pratyahara atau menarik perhatian ke dalam diri.
Ketiganya bisa dilakukan oleh mereka yang sama sekali belum pernah beryoga. Alih-alih dapat berpose yang apik, peserta diharapkan bisa mengenal dan menerima diri sendiri lewat tiga jalan yoga tadi.
Pose kurang bagus, menurut Patah, justru menunjukkan bahwa seseorang memiliki keterbatasan sehingga ia menjadi sadar dirinya tidak sempurna. Hal tersebut terjadi pula pada orang lain.
“Yang ingin ditekankan adalah mengenali kemampuan dan keterbatasan diri dan menghargai juga menerima diri apa adanya. Harapannya hal itu membangkitkan empati serta rasa cinta pada diri sendiri. Kalau sudah bisa mengenal diri, bisa tepa slira dengan orang lain. Bahwa mereka juga seperti kita yang punya keterbatasan,” ujarnya.
Sementara itu, Yudhi mengatakan irisan antara yoga dengan cinta yang jadi tema besar festival memang ada. Salah satu tujuan yoga adalah mendapatkan ketenangan batin.
“Dengan ketenangan atau keheningan persoalan dianggap jadi tidak ada masalah. Yoga adalah salah satu cara mencapai ke sana. Dengan suasana batin yang tenang akan didapatkan rasa bahagia, memunculkan rasa cinta, atau lebih jauh lagi rasa persaudaraan bahwa orang lain pun menginginkan itu sehingga kita menihilkan friksi,” ujarnya.
Menurut Yudhi ada tiga elemen dalam yoga yakni praktik, ilmu, dan bakti. Ketiganya membuat yoga menjadi lengkap sebab ia merupakan sebuah practical philosophy atau filosofi yang dipraktikkan.
“Yoga as a practice itu latihan-latihan olahraganya, konsentrasi, pernapasan, juga meditasi. Yoga dipahami sebagai ilmu maksudnya ada nilai filosofi, ada ajaran dalam yoga untuk tidak melakukan kekerasan dan pencurian, tidak berbohong. Lalu ada bakti alias dedikasi kepada yang di Maha Tinggi. Filosofi tadi sangat spiritual dan hal ini sebagai dedikasi ke Maha Kuasa sebagai bakti kepada-Nya, kepada manusia,” kata Yudhi.
Kebutuhan tubuh atau body, lanjut Yudhi, adalah menjadi sehat. Dengan latihan gerakan yoga, ada efek yang diberikan pada badan semisal pose inversion untuk ketahanan mental atau pose duduk buat menenangkan diri. Sementara itu, pikiran membutuhkan fokus agar tidak lari ke mana-mana.
Yudhi mengatakan, keberadaan tiga pengajar di sesi acara “Yoga untuk Semua” juga memiliki arti. Adanya lebih dari satu orang yang mengajar yoga menunjukkan upaya memberi ruang pada orang lain. “Maknanya adalah meminimalisisai diri kita yang paling benar. Itu juga bagian dari refleksi cinta.”ujarnya.
Setelah kurang lebih satu jam, sesi acara “Yoga untuk Semua” ditutup dengan corpse pose. Peserta diam berbaring di atas matras. Mereka lalu diminta untuk berterima kasih pada diri sendiri. Berterima kasih pada organ tubuh yang selama ini telah bekerja. Berterima kasih karena bisa menghirup oksigen.
Yudhi lantas meminta peserta festival mengambil kartu yang harus dibaca dengan sadar. Mereka disuruh berdiri kemudian bergerak sembarang dan berhenti ketika mendengar kata “stop”.
Setelah itu, mereka membacakan kartu milik masing-masing lantas menukarnya dengan teman di sebelah. Proses ini dilakukan sekali lagi. Terakhir, peserta diminta memberitahu perasaan mereka saat itu pada orang yang berada paling dekat dengannya.
Yudhi menyebut kartu yang dipegang peserta festival biasanya menunjukkan refleksi dari perasaaan mereka waktu itu. Kartu tersebut merupakan hadiah yang diberikan kepada peserta. “Sesi acara tadi ditutup dengan permainan kartu nilai. Itu juga semacam hadiah dari kami,” katanya.