GP Farmasi Bisa Produksi 3 Juta Klorokuin/Bulan untuk Atasi Covid-19
Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi menyatakan dapat memproduksi obat klorokuin hingga 3 juta tablet per bulan. Obat itu diyakini dapat membantu penyembuhan pasien Covid-19.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Dorojatun Sanusi mengatakan jumlah tersebut setara dengan kemampuan produksi PT Kimia Farma Tbk. Padahal, produksi klorokuin tersebut baru mencapai 55-60% dari kapasitas GP Farmasi.
Dorojatun mengatakan, GP Farmasi mampu memproduksi lebih besar dari pada Kimia Farma. Namun upaya menambah produksi terhalang pasokan bahan baku.
Saat ini, lanjut dia, GP Farmasi mendapatkan bahan baku klorouin dari India. Namun, negara tersebut telah menghentikan ekspor klorokuin untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
GP Farmasi pun berusaha mendapatkan bahan baku dari Tiongkok. "Tapi belum dapat respons baik," ujar Dorojatun saat rapat dengar pendapat yang digelar secara virtual dengan Komisi IX DPR, Rabu (8/4)
Ia pun mengusulkan agar pemerintah dapat melaksanakan kerja sama secara Goverment-to-Goverment. Hal ini dinilai perlu untuk memenuhi kebutuhan obat domestik serta mempertimbangkan ketersediaan pasokan di negara produsen.
"Jadi dengan kerja sama, kita bisa mendapatkan prioritas," ujar dia.
Selain itu, ia berharap, penggunaan klorokuin tidak terbatas untuk rumah sakit yang menangani pasien corona. Namun bisa digunakan juga oleh dokter praktek spesialis paru, dokter umum, dan dokter lainnya.
(Baca: Profesor UI: Mitos, Vitamin hingga Klorokuin Sembuhkan Pasien Corona)
Di sisi lain, klorokuin merupakan obat yang memiliki nama resmi klorokuin fosfat. Obat ini biasa digunakan untuk mengobati malaria.
Menurut Medicine for Malaria Venture, sebuah organisasi kesehatan resmi dari Swiss, klorokuin pertama kali dikembangkan seorang kimiawan Prancis pada 1820 untuk mengobati demam. Dikembangkan lagi oleh ilmuan Jerman pada 1934 menjadi tablet klorokuin yang dikenal hari ini.
WHO menjadikan klorokuin obat utama untuk menyembuhkan malaria secara global, termasuk selama Perang Dunia II. Klorokuin berkembang dalam bentuk hydroxychloroquine yang berfungsi mengobati lupus dan rheumatoid arthritis.
Nabil Seidah, ahli biologi molecular Montreal Clinical Research Institute, kepada The-Scientist.com menjelaskan cara kerja klorokuin dalam mengobati malaria. Menurutnya, obat tersebut dapat membuat hemoglobin menjadi racun bagi mikroparasit plasmodium penyebab malaria. Sehingga, mikroparasit tak menemukan inang untuk berkembang dan malaria sembuh.
Biarpun begitu, kata Seidah, hal itu tak akan berlaku sama kepada penyakit yang disebabkan virus corona. Biarpun dia pernah tergabung dalam pengujian klorokuin sebagai obat SARS-Cov pada 2005.
Hasil penelitian itu menyebut obat klorokuin secara teori mampu melawan virus corona. Pasalnya, obat itu bisa meningkatkan PH dalam sel protein yang menjadi sasaran virus corona untuk berkembang biak. Dengan begitu, peluang penyebaran virus bisa terhambat karena tak banyak sel protein yang terikat dengannya.
Namun Seidah menilai virus Covid-19 sudah jauh berkembang dari SARS. Kemampuan virus corona mengikat sel lebih cepat. Sehingga tak bisa disamakan efek penggunaan klorokuin yang berhasil mengobati SARS dengan Covid-19.
Menurutnya klorokuin mustahil bekerja sendiri dalam mengobati pasien terinfeksi corona, namun harus didampingi obat lain. Klorokuin termasuk dalam obat generik yang murah dan mudah ditemui di pasaran.
(Baca: Kandidat Vaksin Covid-19 yang Didanai Bill Gates Diuji Coba ke Manusia)