Agar Kebal Perang Dagang, Industri Fesyen Butuh Lebih Banyak Desainer
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menginginkan lebih banyak pelaku industri kreatif subsektor fesyen tampil sebagai perancang mode. Semakin banyak desainer nasional yang mendunia diharapkan bisa meningkatkan nilai tambah industri turunan pertekstilan ini.
Wakil Kepala Bekraf Ricky Joseph Pesik menuturkan bahwa pihaknya berupaya membukakan peluang pasar yang lebih luas bagi para desainer fesyen Indonesia. Bekraf mendorong semakin banyak terjalin kemitraan bisnis yang melibatkan merek fesyen nasional di tataran global.
"Kita harus menghindari industri fesyen hanya memperoleh manfaat sebagai konveksi dari tekstil. Kesepakatan bisnis model ini rentan terhadap dinamika ekonomi politik global, seperti dari perang dagang (AS - Tiongkok)," tuturnya kepada Katadata, Selasa (2/10).
Berdasarkan data yang dipublikasikan Bekraf dan Badan Pusat Statistik (BPS), komoditas subsektor fesyen mendominasi kinerja ekspor industri kreatif. Pada 2016, porsinya mencapai 54,5%.
Data terkait ekspor produk industri kreatif selama 2010 - 2016 tersebut menunjukkan pertumbuhan rata-rata produk fesyen sebesar 4,3% per tahun. Pada 2010, ekspor produk fesyen Indonesia senilai US$ 8,58 miliar lantas pada 2016 naik ke kisaran US$ 11 miliar.
(Baca juga: Tumbuh 8,7%, Busana Muslim Jadi Andalan Ekspor Tekstil Indonesia)
Komoditas terbesar ekspor subsektor fesyen selama kurun waktu tersebut berasal dari industri pakaian jadi (konveksi) dari tekstil serta industri sepatu olahraga. Pada 2016, kontribusi konveksi dari tekstil mencapai 57,2% sedangkan sepatu olahraga 22,7%.
Menyadari besarnya peran konveksi maka Bekraf berupaya agar nilai tambah industri fesyen terakselerasi. "Nilai tambah ini kalau diturunkan lebih spesifik ialah mendorong Indonesia hadir sebagai merek atau desainer fesyen, bukan sekadar konveksi," ucap Ricky.