Jelang Pilkada, Pemerintah Diminta Waspadai Pengelolaan Anggaran
Jelang agenda pemilihan kepala daerah serentak 2018, pemerintah diminta mengevaluasi pengelolaan dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sekretaris Jenderal FITRA Yenny Sucipto menyatakan pemerintah memang secara administratif telah melakukan transparansi dan akuntabilitas anggaran hingga seluruh daerah di Indonesia. Hanya saja, transparansi dan akuntabilitas belum sampai kepada proses pembahasan dan tingkat implementasi.
"Ini yang menjadi satu pekerjaan rumah terberat di tahun keempat karena ini kan menjelang tahun politik, Pilkada, Pileg, Pilpres," kata Yenny di Sekretariat Nasional FITRA, Jakarta, Rabu (10/1).
Lebih lanjut, Yenny mengatakan pengelolaan anggaran yang belum sepenuhnya transparan dan akuntabel dapat dimanfaatkan para elite. "Bisa saja semua elite memanfaatkan ruang di dalam pengelolaan APBN atau APBD," kata dia.
(Baca: Kemenkeu Tegur Pemerintah Daerah Agar Kelola Anggaran Lebih Efektif)
FITRA juga memberikan catatan khusus mengenai pengelolaan pembiayaan infrastruktur. Yenny mengatakan, pemerintah selama lima tahun membutuhkan sekitar Rp 5.000 triliun untuk bisa membangun infrastruktur.
Sementara, APBN sendiri hanya mampu menyediakan sekitar Rp 2.000 triliun dengan anggaran per tahun mencapai Rp 350-400 triliun. Menurut Yenny, dengan jumlah yang besar tersebut membuat anggaran pemerintah hingga akhir 2017 defisit sampai 2,92% terhadap PDB.
"Ini sudah melampaui target perencanaan defisit anggaran yang hanya 2,41%," kata Yenny.
Adapun Kementerian Keuangan yang seharusnya melakukan pencarian anggaran untuk pembangunan infrastruktur kinerjanya dinilai tidak optimal. Data dari Dirjen Pajak misalnya merilis bahwa dari 36 juta wajib pajak, hanya 60% yang patuh.
(Baca: Wantimpres: Kebocoran Keuangan Daerah Memburuk)
Sementara, realisasi pajak sejak Jokowi menjabat selalu kurang dari 90%. Hal ini diakibatkan oleh ketergantungan yang tinggi pemerintah terhadap sektor migas, lesunya daya beli masyarakat terhadap produk domestik, dan tata kelola pajak yang belum optimal.
FITRA memprediksi jika realisasi pajak di akhir tahun 2017 hanya akan mencapai 86,5%. "Ini yang menjadi catatan sehingga infrastruktur yang harusnya dibiayai oleh APBN dilempar. Satu ke investor, kedua dengan pembiayaan utang," kata Yenny.
Menurut Yenny, kondisi ini lebih lanjut tidak konsisten dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang berusaha menghilangkan dependensi utang negara. Pada APBN 2018, pembiayaan anggaran untuk utang mencapai Rp 399 triliun atau bertambah Rp 14 triliun dari tahun 2017.
Adapun, beban negara untuk membayar utang lebih besar pada 2018. Sebab, utang jatuh tempo Indonesia pada tahun 2018 tiga kali lipat lebih besar dari tahun 2017, yakni sebesar US$ 354,36 juta. "Ini menjadi satu catatan pemerintahan Jokowi melakukan evaluasi kinerja Kemenkeu," kata dia.
(Baca: BPK Temukan Masalah Uang Negara Rp 27,39 Triliun di Semester I-2017)