Kurang Produktif, Baru 62% Tanah Wakaf di Indonesia Punya Sertifikat
Badan Wakaf Indonesia (BWI) mencatat baru 62% tanah wakaf di Indonesia yang memiliki sertifikat wakaf. Padahal, luas tanah wakaf di Indonesia mencapai 420 ribu hektare.
Pengurus BWI Iwan Agustiawan Fuad mengungkapkan, lambatnya sertifikasi tanah wakaf di Indonesia salah satunya disebabkan keterbatasan kompetensi pengelola wakaf atau nadzir. “Pada masa-masa awal, memang banyak yang berwakaf itu kepada ustadz atau orang-orang yang dipercaya," ujar Iwan dalam Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2017 di Surabaya, Rabu (8/11).
Iwan mencontohkan, seseorang mewakafkan kebun sawit seluas 200 hektare di Kalimantan kepada seorang ustadz. Sayangnya, sang ustadz kurang menyadari pentingnya sertifikat serta memiliki kemampuan finansial yang terbatas.
Sementara, untuk pembuatan sertifikatnya serta Pajak Bumi Bangunan yang harus dibayar mencapai Rp75 juta. “Akhirnya, tanah tersebut terbengkalai.”
(Baca juga: Baru 10% Masyarakat Indonesia Melek Keuangan Syariah)
Saat ini, BWI terus mendorong agar setiap tanah wakaf memiliki sertifikat agar dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Setiap tahun, BWI mengalokasikan sejumlah anggaran untuk membantu pengurusan setifikat wakaf.
Sementara, Deputi Gubernur BI Rosmaya Hadi mengatakan, wakaf bisa mengatasi permasalahan kesenjangan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan bila dikelola dengan baik. Namun sayangnya potensinya belum tergali secara maksimal.
Di antara indikator belum maksimalnya wakaf itu adalah bertambahnya penduduk miskin di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan penduduk miskin di Indonesia per Maret 2017 mencapai 10,64% atau 27,77 juta jiwa. Jumlah ini bertambah sebesar 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016.
“Permasalahan kemiskinan seperti ini antara lain bisa diatasi dengan wakaf,” kata Rosmaya.
Penggunaan tanah wakaf di Indonesia masih identik dengan masjid atau makam. Padahal, wakaf juga bisa dan boleh dikelola menjadi aset-aset ekonomi yang menghasilkan keuntungan finansial. Di Selandia Baru misalnya, tanah wakaf ada yang dikelola sebagai peternakan domba yang hasilnya dapat dinikmati masyarakat.
(Baca juga: Potensi Ekonomi Syariah Dunia US$ 6,38 Triliun pada 2021)
Kurangnya pemanfaatan tanah wakaf juga dinyatakan oleh Waqf Management & Empowerment Division Badan Wakaf Indonesia (BWI) Robbyantono. Ia mencontohkan, ada tanah seluas 2,4 hektare di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tanah yang nilainya sekitar Rp 4 triliun itu hanya membukukan pendapatan sebesar Rp 4-6 miliar per tahun dari hasil penyewaan parkir.
Sebelumnya, ada tanah di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan, senilai Rp 300 miliar yang cuma membukukan pendapatan Rp 200 juta per tahun. Namun, tanah tersebut kini sudah dikelola dengan sistem build operate and transfer (BOT) serta dibangun gedung perkantoran.
"Nantinya pada tahun pertama setelah serah terima, akan mendapatkan revenue sebesar Rp 45 miliar per tahun," kata Robbyantono.
Untuk memaksimalkan pengelolaan wakaf, BI dan BWI pun menyusun waqf core prinsipal. Pada Indonesia Shari'a Economic Festival (ISEF) 2017 di Surabaya, pedoman pengelolaan aset wakaf ini kembali dimatangkan dalam sebuah seminar dengan mengundang 50 pengelola wakaf serta pembicara dari Selandia Baru, Afrika Selatan, juga Bosnia.
“Tahun depan diharapkan pedoman ini bisa diimplementasikan agar pengelolaan wakaf semakin maksimal, transparan, terukur, dan memberi manfaat dalam menyejahterakan masyarakat," kata Ketua Divisi Luar Negeri BWI Muhammad Lutfi.