Curiga Akal-akalan Tarif Listrik
KATADATA ? PADAMNYA listrik di Blok A Apartemen Graha Cempaka Mas, Senin, 20 Januari lalu, tak meredam nyali sejumlah penghuni di kawasan itu. Emosi warga bahkan kian tersulut, setelah puluhan petugas keamanan PT Duta Pertiwi Tbk., pengelola kawasan itu, memutus aliran listrik.
Penghuni mencoba melawan. Sempat terjadi baku hantam. Kondisi kian ruwet, setelah kisruh ini berujung pada penangkapan Mayjen (Purn.) Saurip Kadi, Ketua Forum Komunikasi Warga Pemilik/Penghuni. Mantan Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat ?digelandang? ke Polres Jakarta Pusat.
Persoalan listrik merupakan salah satu pemantik konflik antara penghuni apartemen dan pihak pengelola. Soal serupa tampaknya juga menyengat sejumlah apartemen lain di Jakarta, seperti Gading Mediterania Residence, Gading Nias Residence, Lavande, Thamrin City, dan Mangga Dua Court.
Menurut Parulian Tambunan, Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta, penghuni apartemen banyak mengeluhkan tarif listrik yang dibebankan pengelola. Mereka menuding pengelola telah melakukan penggelembungan tarif listrik, dengan menaikkan tarif secara sepihak. ?Kami ingin memediasi kedua pihak,? ujarnya. ?Tapi tampaknya tidak ada itikad baik untuk menyelesaikannya.?
Di apartemen Graha Cempaka Mas, persoalan ini bermula dari sepucuk surat yang dikirimkan Duta Pertiwi kepada penghuni pada 28 Januari 2013. Surat yang ditandatangani oleh Achrinaldi Nursewan, Head of GCM-RMGCM Duta Pertiwi, itu mengumumkan kenaikan tarif listrik periode 2013. Alasannya, dalam rangka penyesuaian dengan tarif baru listrik PLN, seperti termaktub dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 30 Tahun 2012.
Dari sinilah, riak keresahan penghuni bermula. Ini dikarenakan tarif yang ditetapkan oleh Duta Pertiwi ternyata jauh lebih mahal ketimbang harga resmi dalam Peraturan Menteri. Berdasarkan surat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), tarif untuk penghuni apartemen termasuk dalam golongan B3, yang dalam peraturan menteri tarifnya dipatok sebesar Rp 880 per kWh pada periode 1 Januari-31 Maret 2013. Setiap tiga bulan, tarif dinaikkan 5 persen.
Persoalannya kemudian, tarif yang ditetapkan oleh Duta Pertiwi ternyata sebesar Rp 1.150 per kWh pada periode tiga bulan pertama 2013. Tarif tersebut 30 persen lebih mahal ketimbang tarif resmi PLN, dan belum termasuk pajak penerangan jalan umum (PJU) sebesar 3 persen.
M. Hokli Lingga, kuasa hukum Duta Pertiwi, mengatakan tarif yang lebih tinggi tersebut disebabkan oleh beban pengelola yang harus melakukan pemeliharaan terhadap gardu. ?Termasuk menyediakan genset dan solar jika terjadi pemadaman aliran listrik,? tuturnya kepada Katadata.Mendengar alasan itu, para penghuni tak serta-merta percaya. Bahkan menuding, itu hanyalah akal-akalan Duta Pertiwi. Sebab, setiap bulan para penghuni sudah dibebani Iuran Pemeliharaan Lngkungan (IPL), termasuk di dalamnya adalah biaya pemeliharaan atas gardu.
Kecurigaan penghuni juga ditopang oleh fakta lain bahwa Duta Pertiwi membeli listrik dari PLN secara curah, yang harganya di bawah harga retail. Jika menilik peraturan yang ada, sepanjang periode 1 Januari-31 Maret 2013 harganya hanya Rp 611 per kWh.
Menurut Direktur Utama PLN Nur Pamudji, pengelola apartemen memang diperbolehkan untuk membeli listrik dalam bentuk curah. Nantinya, listrik tersebut disalurkan pihak pengelola kepada pelanggannya masing-masing, baik di apartemen maupun mal.
?Kami hanya menjalankan, kalau pemerintah melarang ya kami tidak kenakan itu,? katanya seusai rapat kerja dengan Komisi Energi DPR di Jakarta (10/2).
Dia juga menjelaskan, pihaknya tidak mengatur besaran tarif yang disalurkan pihak pengelola ke pelanggannya. Adapun yang diatur dalam Peraturan Menteri Energi Nomor 30 Tahun 2012 hanya harga listrik curah. ?Itu tarif ke pengelola. (Bentuknya) gelondongan dan bayarnya tiap bulan. PLN urusannya sama pemilik gedungnya, PLN tidak mengurusi yang kecil-kecil,? kata Nur.
Persoalannya, ada selisih tarif yang kemudian memunculkan adanya dugaan penggelembungan tarif listrik oleh Duta Pertiwi. Sebagai bukti pendukung, para penghuni menyodorkan bukti informasi tagihan listrik dari PLN pada Februari 2013.
Di situ tertera biaya pemakaian yang dikenakan PLN terhadap Duta Pertiwi, yaitu sesuai dengan tarif golongan B3, yaitu Rp 880 per kWh. Angka ini berbeda dengan tagihan yang diberikan Duta Pertiwi kepada penghuni sebesar Rp 1.185 per kWh, termasuk pajak PJU 3 persen.
?Ini yang menjadi kecurigaan kami. Kenapa tarifnya berbeda?? kata Saurip, penasihat Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Campuran (PPRSC) Graha Cempaka Mas. ?Kami sering mempertanyakan hal ini, tapi tidak pernah mendapatkan jawaban.?
Yang juga dipersoalkan penghuni adalah pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas listrik. Pungutan ini dinilai janggal, sebab dalam bukti tagihan dari PLN kepada Duta Pertiwi, tidak tercantum adanya PPN. ?Di surat tagihan PLN, nilai PPN-nya nol persen, tapi pengelola selalu menagih ke kami ada PPN 10 persen,? kata Tonny Soenanto, Ketua PPRSC Graha Cempaka Mas versi penghuni.
Dinas Perumahan dan Gedung DKI Jakarta sebetulnya telah memperingatkan Duta Pertiwi atas persoalan ini. Dalam suratnya tertanggal 30 April 2013, Kepala Dinas Perumahan dan Gedung, Yonathan Pasodung, meminta penangguhan pengenaan PPN atas listrik dan air. Namun, Duta Pertiwi mengabaikan peringatan tersebut.
Tak patah arang, penghuni kemudian meminta penjelasan kepada Dirjen Pajak Fuad Rahmany pada 3 Mei 2013. Dalam surat tertanggal 24 Mei 2013 tersebut, Fuad menjelaskan bahwa listrik untuk perumahan dengan daya sampai 6.600 watt dan air bersih yang dibayarkan melalui pengelola, tidak dikenai PPN. Ini lantaran listrik dan air termasuk objek strategis yang tidak kena PPN.
Surat Fuad juga menerangkan bahwa pengelola tidak dapat memungut PPN atas service charge. PPN hanya dapat dikenakan apabila kegiatan usahanya berupa persewaan ruangan. Sementara, hubungan antara penghuni apartemen dan Duta Pertiwi merupakan hubungan jual-beli.
Namun, surat Dirjen Pajak tersebut kemudian dimentahkan oleh Donna Dian Sukma Zulfieda, pejabat Kepala KPP Wajib Pajak Besar Dua. Dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Utama Duta Pertiwi pada 28 Agustus 2013 itu, KPP beralasan bahwa PPN listrik bisa dikenakan, dikarenakan perusahaan setrum milik negara ini menyalurkan listrik ke gardu induk yang dikelola oleh Duta Pertiwi dengan daya sebesar 5,19 juta watt. Berhubung besaran dayanya di atas 6.600 watt, maka biaya listrik dari pengelola kepada pemilik apartemen pun dikenakan PPN.
Hal serupa berlaku untuk PPN air minum, karena penyalurannya dilakukan melalui Duta Pertiwi sebagai pengelola, sehingga dikenai PPN. Begitu pula dengan PPN service charge. Ini lantaran KPP Pajak menganggap Duta Pertiwi sebagai pengelola.
Surat KPP Wajib Pajak Besar Dua tersebut belakangan dibatalkan oleh Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Wajib Pajak Besar Sigit Priadi Pramudito pada 18 September 2013. Dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Utama Duta Pertiwi tersebut, dijelaskan bahwa pengenaan PPN atas tagihan listrik, air bersih, dan service charge yang dilakukan oleh Duta Pertiwi perlu diteliti lebih lanjut.
Meski telah membatalkan surat KPP Wajib Pajak Besar Dua, namun Sigit Priadi kemudian mengirimkan surat kembali kepada Direktur Utama Duta Pertiwi. Dalam surat bertanggal 18 November 2013, ia menegaskan alasan yang telah disebutkan dalam surat KPP Wajib Pajak Besar Dua yang sebelumnya telah ia batalkan. Bahwa ketiga komponen tersebut dikenakan PPN.
Terlepas dari pro-kontra itu, Duta Pertiwi menolak jika dikatakan telah memungut PPN fiktif. Menurut Hokli Lingga, selama ini pengelola melakukan pembayaran pajak secara langsung ke Ditjen Pajak. Tidak melalui PLN. ?Kalau warga membutuhkan faktur pajaknya akan kami berikan,? ujarnya.
Adanya pengenaan pajak, Hokli menambahkan, dikarenakan besaran pemakaian listrik didapatkan dari perhitungan seluruh unit apartemen oleh pengelola. Ini yang membedakan dengan pelanggan PLN lain, yaitu tanggung jawab PLN hanya menyalurkan listrik sampai ke gardu induk.
Dalam hal ini, pengelolalah yang bertanggung jawab untuk menyalurkan listrik ke warga, termasuk kalau ada kerusakan. Dengan begitu, total pemakaian listrik melebihi batas maksimum 6.600 watt, sehingga memunculkan adanya beban PPN.
Terkait hal ini, Hokli berjanji akan memberikan dokumen-dokumen menyangkut pembayaran pajak tersebut kepada Katadata. Namun, ia kemudian urung memberikannya dengan alasan dokumen tersebut belum disiapkan.
Bagi penghuni, berbagai alasan yang diungkapkan oleh Duta Pertiwi maupun isi surat dari KPP Wajib Pajak Besar Dua tetap terasa janggal. Alasan mereka, Duta Pertiwi bukanlah perusahaan di sektor kelistrikan. Karena itu, Duta Pertiwi pun dinilai tidak berhak memperoleh keuntungan dari penyaluran listrik, termasuk memungut PPN. Apalagi surat Dirjen Pajak menerangkan bahwa pemungutan PPN didasarkan atas objek pajaknya, bukan subjek pelaksananya.
?Memangnya Duta Pertiwi itu perusahaan listrik? Lagi pula dalam surat Dirjen Pajak, listrik dan air termasuk barang strategis yang tidak dikenakan PPN,? ujar Andrian Meizar, staf di Kantor Pengacara Palmer Situmorang yang juga menjadi Koordinator Sekretariat Forum Komunikasi Warga Graha Cempaka Mas.
Anehnya lagi, Andrian menuturkan, Duta Pertiwi hanya menarik PPN dari apartemen Graha Cempaka Mas. Sedangkan di apartemen lain yang dikelolanya, sama sekali tidak memungut PPN. ?Kalau memang kena PPN, kan semestinya berlaku umum,? tuturnya. ?Kenapa hanya kami yang dipungut??
Berbagai pertanyaan menggantung ini, kian menambah kecurigaan penghuni bahwa telah terjadi manipulasi pembayaran pajak oleh Duta Pertiwi. ?Jangan-jangan pajak yang dipungut Duta Pertiwi bukan untuk pembayaran listrik warga,? kata Saurip curiga. ?Tapi digunakan untuk setoran pajak di unit usaha Duta Pertiwi lainnya, yang dibebankan ke penghuni Graha Cempaka Mas. Ini yang menjadi kecurigaan kami. Makanya kami minta audit laporan keuangan, tapi tidak pernah diberikan.?